3 Seni Rakyat Jawa yang Melibatkan Roh Halus

Sejumlah seni rakyat Jawa mengundang roh halus. Ada Jathilan, Sintren, dan Nini Thowong.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 19 Mei 2016, 19:49 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2016, 19:49 WIB
Seni Rakyat Jawa
Sejumlah seni rakyat Jawa mengundang roh halus. Ada Jathilan, Sintren, dan Nini Thowong.

Liputan6.com, Semarang - Di sebuah pementasan Jathilan, Bayu dan Kelik dari kelompok seni jathilan Turonggo Krido Budoyo asal Sanggrahan Mungkid Kabupaten Magelang, dengan masih mengenakan topeng Buto (raksasa) tiba-tiba berjingkrak tanpa memperhatikan harmoni gerak pemain lain.

Dua pemain ini bergerak seenaknya dan hanya mengikuti ritme gamelan yang terdiri dari demung, bendhe, dan kendang saja. Mereka menyebutnya gerak kiprah.

Dengan gerak seenaknya itu, tak heran jika mereka menabrak siapa saja yang ada di depannya. Ketika tempo gamelan menjadi cepat karena adegan peperangan, Bayu dan Kelik berlari makin menggila.

"Awas...mulai ndadi. Minggir. (awas mereka mulaitrance/kesurupan. Minggir.) !!" teriak Sukendro, salah satu kru kesenian rakyat itu.

Adegan itu sesungguhnya belum merupakan klimaks dari pertunjukkan Jathilan Magelang. Akhirnya nyaris semua pemainnya akhirnya kesurupan. Namun sebagaimana dramaturgi seni pertunjukan, untuk kesenian jathilan Magelang memang memiliki grafik menanjak kemudian menurun. Klimaks pertunjukkan ada di tengah.

Jathilan asal Magelang memang berbeda dengan jathilan atau kuda lumping dari daerah lain. Jika kuda lumpung dari daerah pesisiran Jawa Tengah, pertunjukan dimulai atau dibuka dengan lecutan cambuk sebagai penanda pemain mulai kesurupan. Ketika pemain sudah kesurupan, maka mereka bisa menari dan menunjukkan atraksi akrobatik di luar nalar.

Sedangkan Jathilan Magelang sebagai seni rakyat dari pedalaman atau pegunungan mendahulukan estetika gerak tari. Ketika gerak tari sudah sangat menyatu dengan musiknya, maka fenomena ndadi (trance/kesurupan) jadi keniscayaan.

Menurut Sukendro, pawang pertunjukan dari kelompok seni jathilan Turonggo Krido Budoyo asal Sanggrahan Mungkid Kabupaten Magelang, pada awalnya sebelum pertunjukkan memang dilakukan ritual untuk memanggil roh-roh nenek moyang. Di sini, sang pemain jathilan bertindak sebagai perantara.

"Jadi ini sebagai upaya menjaga silaturahmi dengan roh nenek moyang. Mereka kita ajak bermain-main bersama," kata Sukendro, Kamis (19/5/2016).

 Sebagian seni rakyat Jawa melibatkan roh halus dalam pertunjukan (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Dalam kondisi kesurupan itulah pemain Jathilan mampu melakukan hal-hal di luar nalar. Dukun yang bertindak sebagai pawang harus lebih bekerja ekstra keras. Biasanya roh yang telah menempati badan sang penari akan mengajukan banyak permintaan.

Peminat kesenian Jathilan dan praktisi supranatural asal dusun Tutup Duwur, Kecamatan Dukun, Sumarjono menyebutkan bahwa fenomena ndadi ini merupakan efek alunan irama musik yang monoton dan statis. Para pemain kemudian menari dengan konsentrasi tinggi dan muncul keyakinan akan datangnya roh-roh tersebut.

"Biasanya pemain akan merasakan pusing, terhuyung-huyung, hingga kehilangan daya pikir. Saat itulah pemain mudah  menjadi perantara roh halus berinteraksi," kata Sumarjono.

Saat ini, seni rakyat Jathilan Magelang sudah jauh bergeser. Mulai dari alat musik, bentuk kuda lumping, serta busana penari. Untuk alat musik, saat ini banyak ditambahkan kecek, kenong, kelining, dan lain-lain. Demikian juga dengan bentuk kuda lumping yang kini dibuat lebih kecil dan mengutamakan keindahan. Busana penari Jathilan pun lebih lengkap ketimbang era sebelumnya.

Di Kabupaten Magelang nyaris tiap desa memiliki kelompok Jathilan dengan berbagai varian. Mulai dari Campursari yang menambahkan pasukan pembawa panji (bendera/rontek), ada juga Grasakan yang secara kuantitas didominasi makhluk-makhluk buto (raksasa) dibanding pasukan berkuda maupun yang lain.

"Dulu Jathilan  hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti upacara bersih desa. Sekarang sudah bergeser menjadi tarian penyambutan tamu atau hiburan saja. Bahkan sering hanya dalam format pawai saja," kata Sumarjono.

Tarian Mistis Sintren

Kesenian Sintren berkembang di pantura barat Jawa Tengah, dan bahkan menyeberang hingga Cirebon. Sintren merupakan sebuah tarian yang berbau mistis / magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono.

Dikisahkan Raden Sulandono adalah putra Ki Bahurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso. Akhirnya Raden Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari.

Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula Raden Sulandono yang sedang bertapa dipanggil rohnya untuk menemui Sulasih, maka terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Raden Sulandono.

Sebagian seni rakyat Jawa melibatkan roh halus dalam pertunjukan (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Dalam kesenian Sintren si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.

Permainan Sintren diawali dengan lagu mengundang penonton. Lirik tembang sederhana dilantunkan berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren.

Begitu penonton sudah banyak, tembang berubah lebih magis lagi.

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana

Barulah penari sintren dibawa masuk oleh sang pawang. Ada empat penari yang senantiasa dibawa, dimaksudkan sebagai simbol bidadari sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakaian biasa dan didampingi para dayang/cantrik.

Baru kemudian penari sintren diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra. Calon penari sintren diikat tali melilit ke seluruh tubuh. Kemudian si calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.

Sebagian seni rakyat Jawa melibatkan roh halus dalam pertunjukan (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Saat Sintren berada dalam kurungan sang dalang menembangkan syair berulang dan monoton. Tembang itupun seperti mantra.

Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru

Setelah ada tanda-tanda bergetar kurungannya, saat dibuka sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng. Bahkan juga  memakai kaca mata hitam.

Sintren siap menari bahkan adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri di atas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.

Nini Thowok atau Nini Thowong

Nini Thowong bisa disebut permainan rakyat khas Jawa. Banyak tersebar di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dikenal juga sebagai Nini Thowok, merupakan boneka perempuan yang dianggaap saudara perempuan dari jailangkung.

Dinamakan Nini Thowong karena mukanya putih (thowong). Disebut "Nini", karena jenis kelaminnya perempuan. Konon, dulu ada seorang gadis, yang perangainya jahat. Dia disihir oleh tetangganya, jadilah Nini Thowong.

Permainan ini awalnya berasal dari Gurdo, Panjangrejo, Pundong, Bantul. Nini Thowong adalah nama permainan berupa boneka dari tempurung kelapa, rangka bambu dan diberi pakaian seperti orang. Berfungsi sosial dan religius magis.

Berfungsi sosial karena mampu mengumpulkan anak-anak desa bermain bersama. Berfungsi religius magis karena ada semacam kepercayaan bahwa Nini Thowong yang sudah kemasukan roh halus bisa menunjukkan obat bagi yang sakit, dan bila dituruti si sakit dapat sembuh.

Sebagian seni rakyat Jawa melibatkan roh halus dalam pertunjukan (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Bahan-bahan tersebut disusun menyerupai bentuk manusia lalu dipakaikan kebaya, sarung dan diberi daun-daun yang berasal dari kuburan. Setelah siap, boneka tersebut dibawa ke pohon besar yang angker dan diberi sesajen yang bertujuan untuk memanggil dan agar kemasukan arwah.

Pada zaman dahulu, Nini Thowong dimainkan pada saat mangsa ketiga (musim kemarau) di bawah bulan purnama. Tetapi pada zaman sekarang Nini Thowong dimainkan pada saat acara-acara tertentu.

Bentuk mukanya juga telah dimodifikasi dengan gabungan antara topeng dan siwur (gayung). Nini Thowong dimainkan oleh perempuan, sedangkan yang membawa dan mengangkut dari tempat kediamannya adalah seorang laki-laki. Pada saat memainkan boneka Nini Thowong ini tidak diperlukan sesajen, hanya mengalungkan bunga telon.

Permainan ini diiringi oleh gejug lesung dan gamelan mega mendung. Pada zaman dulu diiringi tembang tetapi sekarang diiringi lagu Perahu Layar. Sejatinya Nini Thowong merupakan manifestasi  budaya animisme yang ketika memainkan Nini Thowong ini mempunyai suatu maksud tertentu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya