Liputan6.com, Banyumas - Baru sebulan lalu, suara menggelegar dari atas bukit mengagetkan Salinem. Nenek 60 tahun itu masih ingat betul bagaimana mencekamnya longsor dahsyat pada 18 Juni 2016 lalu.
Warga Dusun Plandi, Desa Watuagung, Tambak, Banyumas, Jawa Tengah itu hingga kini masih trauma. "Saya hanya berpegangan tiang rumah. Sementara bapak menghalau lumpur masuk rumah," ujar Salinem saat ditemui di rumahnya, Senin 18 Juli 2016.
Rumah Salinem dan suaminya Sujangi berada pada garis lurus longsoran. Kediaman pasangan ini selamat karena ada tebing kecil di depannya.
Advertisement
Dia bercerita, saat itu dentuman keras mengawali guguran tanah setinggi 200 meter. Hanya dalam hitungan detik ribuan kubik material tanah, batu, dan pepohonan luruh menerjang apa saja yang ada di depannya.
Sujangi sebenarnya sudah menyuruh Salinem untuk menyelamatkan diri. "Saya tetap tinggal di rumah dan istri saya sudah saya suruh ke tempat yang lebih tinggi," kata Sujangi, sang suami.
Namun, permintaan itu ditolak Salinem. Dengan tetap berpegangan di tiang rumah, ia menolak untuk pergi menyelamatkan diri sendiri. "Pokoknya kalau kamu tetap di sini saya tidak akan pergi. Kamu mati, aku juga mati," ujar Salinem menceritakan momen sebulan lalu.
Sujangi yang duduk di sebelahnya hanya mesem. Mukanya memerah karena malu dengan polah istrinya yang menceritakan kejadian itu.
Bagi Salinem, sekali menyatakan hidup bersama, mati pun harus bersama. Seperti Romeo dan Juliet. Setiap hari, mereka pergi ke kebun untuk memanen cengkih dan kopi bersama.
Meski jaraknya cukup jauh dan harus berjalan kaki, mereka sudah menjalaninya selama bertahun-tahun. Pernah suatu ketika, Salinem merajuk agar suaminya belajar naik motor. Namun Sujangi menolaknya dan lebih senang pergi ke manapun dengan berjalan kaki.
"Sejak kejadian longsor, saya ke mana-mana harus sama bapak," ujar Salinem.
Salinem dan Sujangi mengaku masih trauma dengan kejadian longsor itu. Apalagi ancaman longsor susulan belum berakhir.
Darsono dan Katiyah
Tak berbeda dengan kisah Salinem dan Sujangi, Darsono (80 tahun) dan Katiyah kini juga sedang berusaha menjalani hari-harinya. "Saya ingin segera rumah saya diperbaiki," kata Darsono.
Darsono dan Katiyah kini tinggal di pengungsian. Rumah mereka hilang diterjang longsor. Kebetulan rumah mereka persis di jalur longsoran.
Saat kejadian, keduanya dibopong warga menuju tempat aman. Keduanya sudah tak bisa berjalan cepat.
Rumah bagi Darsono dan Katiyem adalah segalanya. Sebagai penganut ajaran Budha yang taat, rumah adalah tempat di mana mereka menyatu dengan alam.
Agar trauma keduanya tak berlanjut, kini warga setempat bekerja bakti untuk membangun rumah baru bagi Darsono dan Katiyem. Seperti dituturkan Ketua Rukun Warga (RS) 003 Plandi, Suratman.
"Bantuan pemerintah yang dijanjikan untuk perbaikan rumah belum juga turun, padahal ini sudah satu bulan," kata Suratman.
Suratman mengatakan, daripada menunggu pemerintah turun tangan membantu warganya yang terkena bencana, mereka mengambil inisiatif sendiri untuk bergerak. Sementara ada belasan rumah lain yang berada di tebing yang mulai longsor, juga membutuhkan perhatian.
Wakil Bupati Banyumas, Budhi Setiawan mengatakan, pemerintah Banyumas akan berkoordinasi dengan Perhutani untuk membicarakan tempat relokasi. "Karena ini ada lahan Perhutani, maka harus ada langkah koordinasi," tutur Budhi.
Berlari Setiap Mendung
Trauma tak hanya dialami orang dewasa seperti dua pasangan tadi. Fery Febrian yang masih berusia 6 tahun juga belum pulih sepenuhnya dari bayang-bayang bencana longsor bulan lalu.
Ia yang sebelumnya ceria karena habis belajar memotret, tiba-tiba murung melihat langit. Lalu menangis terisak.
"Saya ingat ibu saya di rumah," ujar Fery.
Melihat Fery yang menangis, sejumlah temannya mencoba menenangkan. Bocah selalu meangis saat langit mendung. Tangisnya akan meledak keras jika hujan turun dengan lebat.
"Anak saya masih trauma dengan kejadian longsor sebulan lalu," kata Tarsikun, ayahanda Fery.
Rumah mereka hilang setengahnya. Bagian dapur sudah tidak ada lagi karena terserempet longsor.
Saat kejadian, Fery masih berada di rumahnya. Dengan mata dan kepalanya, ia melihat langsung kejadian itu. Ia selamat karena ayahnya berlari menggendongnya ke tempat yang lebih tinggi.
Tarsikun kini harus menenangkan anaknya setiap kali hujan datang. Jika tak segera dibawa pergi, Fery akan menangis sejadinya hingga wajahnya membiru.
Luthvera Nur Pramesti, relawan Tambak Crisis Center mengatakan, Fery trauma karena melihat langsung terjadinya longsor. "Berbeda dengan teman sebayanya yang lain, Fery masih belum bisa melupakan kejadian itu," tutur Luthvera.
Namun, kata Vera, keberadaan teman-teman Fery yang selama ini ikut membantu menghibur Fery cukup meredakan trauma Fery. "Kepercayaan dirinya harus dibangkitkan kembali."
Kini Fery sudah mulai bersekolah. Senin lalu merupakan hari pertamanya masuk sekolah. "Semoga dengan bertambah teman, Fery bisa lebih kuat lagi," kata mahasiswi FISIP Unsoed itu.
Hampir sama dengan Fery, Mbah Sawikem juga harus berlari setiap hujan datang. Umurnya yang sudah menginjak 90 tahun, seringkali menyulitkan langkahnya untuk menuju tempat aman.
"Kemarin, kami kira beliau sudah meninggal saat berlari menuju tempat aman. Beliau ada masalah dengan jantungnya," kata Suratman, Ketua RW 3 Plandi.
Setelah sempat pingsan, Sawikem akhirnya siuman. "Wis ora kuat mlayu maning (sudah tidak kuat berlari lagi)," ujar dia.
Ia tak mau tinggal di pengungsian. Sawikem lebih memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Ia hanya mau meninggalkan rumahnya saat hujan turun dan pergi ke pengungsian.
Advertisement