Liputan6.com, Manado - Tak banyak pihak yang tahu juga minim catatan sejarah ikhwal keberadaan keluarga inti kesultanan Yogyakarta pernah tinggal di Manado, Sulawesi Utara. Salah satu petunjuknya adalah adanya makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) V.
Tak hanya permaisuri, putra mahkota dari Sultan HB V bernama Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga juga dimakamkan di kompleks pekuburan muslim, Kelurahan Mahakeret Barat, Kecamatan Wenang, Manado.
Lokasi makam terletak di pinggiran salah satu jalan utama di Manado, yakni Jalan Diponegoro. Pada bagian depan kompleks pemakaman, ada gapura bertuliskan "Tempat Pemakaman Permaisuri Sri Sultan HB V ‘Kanjeng Ratu Sekar Kedaton’ yang wafat 25 Mei 1919".
Advertisement
Di sisi kiri gapura itu juga berdiri dua papan penunjuk keterangan, yang pertama bertuliskan "Objek Wisata Makam Kajeng Ratu Sri Kedaton". Sedangkan, yang satunya bertuliskan "Cagar Budaya Makam Sekar Kedaton".
Lokasi pemakaman itu terletak tak jauh dari Masjid Raya Ahmad Yani Manado. Perjalanan sedikit mendaki untuk masuk ke dalam kompleks makam itu. Di dalamnya bertebaran ratusan pusara yang kebanyakan nama-namanya identik dengan suku Jawa.
Di bagian tengah pemakaman itu, berdiri sebuah bangunan berbentuk rumah kecil bercat putih dengan atap genting. Sebuah keterangan menempel di bagian depan bangunan bertuliskan: "Di sini Dimakamkan Permaisuri Sri Sultan Hamengkobuwono V “Kanjeng Ratu Sekar Kedaton” Wafat 25 Mei 1919. Dan Putranya Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga. Wafat 12 Januari 1901".
Baca Juga
Nisan keduanya berada di dalam bangunan putih itu. Untuk masuk ke dalam, harus melalui sebuah pintu gerbang kecil. Di sisi kiri bangunan putih itu, ada pintu cokelat untuk bisa masuk melihat dua makam di dalamnya.
Halaman kecil bangunan itu juga terdapat beberapa kuburan. Cerita yang berkembang di masyarakat, kuburan-kuburan di sekitar makam permaisuri dan putra mahkota itu adalah makam keturunan, atau anak cucu mereka.
"Itu memang komplek pemakaman Kanjeng Ratu. Kawasan itu berdiri lebih dulu karena beliau wafat sekitar tahun 1919. Sementara, Masjid Raya Ahmad Yani diresmikan pada 1963 oleh Letjen TNI Ahmad Yani, yang ketika itu menjabat Panglima Angkatan Darat," ujar Nurasyid Ahmad, salah satu warga Kelurahan Lawangirung, Kecamatan Wenang, saat ditemui usai salat di Masjid Raya Ahmad Yani, Rabu, 28 Juni 2017.
Nurasyid mengatakan, sesuai cerita yang dia dengar, keberadaan permaisuri dan putra mahkota di Manado karena dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda.
"Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono V meninggal, terjadi konflik internal di Kesultanan Yogyakarta. Belanda ikut campur, dan membuang permaisuri serta putra mahkota ke Manado," tutur Nurasyid.
Meski berada di jalan protokol, tidak banyak warga Manado yang mengetahui keberadaan makam keturunan kesultanan Yogyakarta itu. Hanya mereka yang masih terikat keturunan dari permaisuri dan putra mahkota yang biasanya tahu keberadaan makam itu.
"Hampir tiap bulan ada keluarga-keluarga yang datang berziarah. Kemungkinan merupakan keturunan dari permaisuri dan putra mahkota. Mereka biasanya melapor kepada kami," kata Lurah Mahakeret Barat, Edwin Matheos, Jumat, 30 Juni 2017.
Edwin mengatakan, dulunya memang pemakaman itu mayoritas didominasi warga dari Jawa. "Tapi belakangan ini sudah bercampur, itu memang pekuburan Muslim. Di sana memang ada makam permaisuri Sri Sultan dan juga putra mahkota," kata Edwin.
Berkembang informasi bahwa permaisuri dan dan putra mahkota saat berada di Manado tinggal di Kampung Pondol, Kelurahan Wenang Selatan, Kecamatan Wenang. Jaraknya sekitar 400 meter dari kompleks pemakaman.
Sedangkan, keturunan mereka menyebar di beberapa kelurahan di Manado seperti Mahakeret Timur, Mahakeret Barat, Lawangirung, Komo Dalam, Wenang Utara, dan Wenang Selatan.