Langkah Kiai Modjo Menuju Pahlawan Nasional dari Minahasa

Kiai Modjo merupakan tokoh sentral yang mendampingi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa untuk mengusir penjajah dari Tanah Air.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 11 Nov 2017, 07:02 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2017, 07:02 WIB
Kiai Madja
Kiai Modjo, tokoh perang Jawa menjadi pahlawan nasional dari Minahasa. (Liputan6.com/wikipedia)

Liputan6.com, Manado - Ulama sekaligus pejuang Kiai Modjo lahir di dekat Surakarta dan meninggal saat pembuangan di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Tokoh sentral yang mendampingi Pangeran Diponegoro masa Perang Jawa itu kini tengah diupayakan sejumlah pihak di Sulawesi Utara (Sulut) untuk memperoleh gelar pahlawan nasional.

Perjalanan menuju gelar tersebut sudah dimulai pemangku kepentingan dan pemerintah Provinsi Sulut melalui sebuah seminar yang berlangsung beberapa waktu lalu.

Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut Edwin Silangen, memastikan pengusulan Kiai Modjo sebagai pahlawan nasional setelah melalui berbagai mekanisme, termasuk yang penelusuran bersifat historis-ilmiah.

"Berdasarkan peraturan pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2010 telah mengatur tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, maka implementasinya digelar seminar kepahlawanan Kiai Modjo," kata Edwin, Kamis, 9 November 2017.

"Pemerintah daerah sangat antusias dan mendukung penuh tentang pengusulan Kiai Modjo menjadi pahlawan nasional," dia menambahkan.

Edwin mengatakan, status pahlawan untuk Kyai Modjo tentu menyangkut perjuangannya karena telah berkorban membela bangsa dan negara dengan pantang menyerah. Sekaligus, telah mengaktualisasikan perjuangan tanpa pamrih dan berjuang melebihi kemampuannya.

"Dengan pengorbanannya, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan penelitian, pengkajian sejarah bagi para pejuang yang benar mempunyai riwayat perjuangan yang sangat mulia dan berharga bagi bangsa Indonesia," kata dia.

Kepala Dinas Sosial Sulut, Grace Punuh menyampaikan, dengan simposium atau seminar kepahlawanan Kiai Modjo, hasil seminar secara prosedur akan ditindaklanjuti Pemprov Sulut melalui pengkajian kepahlawananan, seminar nasional daerah dan dilakukan sidang oleh tim penilai pengkaji gelar daerah (TP2GD) yang akan diteruskan ke tim penilai pengkaji gelar nasional.

"Tahapan gelar kepahlawanan sudah dimulai dengan seminar dan akan terus dilakukan sampai Kiai Modjo layak untuk diangkat menjadi Pahlawan Nasional," ujar Punuh.

Hadir pada seminar kepahlawanan Kyai Modjo yaitu para tokoh-tokoh masyarakat, kalangan akademikua, serta keluarga Kiai Modjo.

Simak video pilihan berikut ini:

 

 

Perjuangan Kyai Modjo Demi Bangsa

Kyai Madja
Kyai Modjo, tokoh perang Jawa menjadi pahlawan nasional dari Minahasa. (Liputan6.com/wikipedia)

Kiai Modjo mendampingi saudara sepupunya, Pangeran Diponegoro, saat Perang Jawa berkobar pada abad ke-19. Dia adalah ulama keturunan ningrat yang menyatakan bergabung dengan Diponegoro karena percaya pada sang pangeran akan membentuk pemerintahan Islam di Tanah Jawa.

Lahir pada 1792 dengan nama Muslim Mochammad Khalifah. Ibunya RA Mursilah adalah saudara perempuan Sultan Hamengkubuwono III. Kendati berdarah biru, Kiai Modjo tidak pernah berada dalam lingkungan keraton, sama seperti Pangeran Diponegoro.

Modjo mempelajari ilmu agama dari ayahnya Iman Abdul Ngarip, ulama besar masa itu yang dikenal dengan nama Kiai Baderan. Sepulang dari Tanah Suci, dia memilih jalan dakwah, mengelola pesantren di Desa Modjo, dan berhasil menghimpun banyak pengikut.

Kemampuan Kiai Modjo yang memahami siar keagamaan menjadi andalan Pangeran Diponegoro. Sebagai ulama besar, Kiai Modjo diberi tugas untuk menanamkan dasar agama Islam dalam peperangan melawan penjajah Belanda, sekaligus membimbing para pejuang Perang Jawa berdasar Kitab Suci Alquran.

 

Akhir Perjuangan Kiai Modjo di Minahasa

Danau Tondano
Bupati Minahasa Jantje Wowiling Sajow menargetkan Pulau Likri jadi destinasi wisata baru di Minahasa. Foto: Ahmad Ibo.

Kehadiran Kiai Mojo di barisan Pangeran Diponegoro berdampak signifikan pada pertambahan jumlah pengikut.

Disebutkan, ada 88 orang kiai desa, 11 orang syekh, 18 orang pejabat urusan agama (penghulu, khatib, juru kunci, dan lain-lain), 15 orang guru mengaji, juga puluhan orang ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, Ponorogo, dan seterusnya, serta beberapa orang santri perempuan yang bisa dia rekrut.

Pada 12 November 1828 pasukan Belanda menyergap Kiai Modjo dan pengikutnya yang telah pecah kongsi dengan Pangeran Diponegoro. Peristiwa penyergapan itu terjadi di Sleman, dekat Sungai Bedog.

Dia kemudian dikirim ke Tanah Minahasa, Sulawesi Utara, bersama sejumlah pengikut dekat dan meninggal di Tondano pada 20 Desember 1849. Hingga saat ini, keturunan Kiai Modjo di Minahasa menempati kawasan yang dinamai kampung Jawa-Tondano atau Jaton.

"Keturunan Kiai Modjo ini lebih mengidentifikasikan diri sebagai warga Minahasa," ujar Utu Rampengan, salah satu warga Tondano.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya