Angon Putu, Tradisi Unik Seorang Kakek Mencambuki Cucu

Tradisi angon putu, merupakan tradisi langka yang dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat Jawa.

oleh Edhie Prayitno IgeFelek Wahyu diperbarui 25 Des 2017, 20:06 WIB
Diterbitkan 25 Des 2017, 20:06 WIB
Angon Putu, Tradisi Kakek Mencambuki Cucu
Sambil memegang cambuk, Notoraharjo tertawa-tawa "mencambuki" cucunya di pasar. (foto : Liputan6.com/felek wahyu)

Liputan6.com, Semarang - Ada tradisi unik di Jawa. Tradisi ini terungkap ketika ketenangan Pasar Fajar Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, satu hati jelang Natal tiba-tiba gempar. Dari lokasi parkir, seorang kakek yang terlihat harus duduk di kursi roda beberapa kali mengayunkan cambuk yang dipegangnya.

Dengan tersenyum, kakek itu mengulang cambukan beberapa kali. Mengarah anak-anak kecil yang notabene cucu dan cicit sang kakek. Kakek itu bernama Notoraharjo.

Bukan karena marah, namun mencambuk cucu dan cicit dilakukan Notoraharjo sebagai menjalankan tradisi turun temurun yang dinamakan tradisi angon putu atau menggembala cucu ke pasar. Sedang lecutan cambuk berfungsi mengarahkan langkah sang cucu ke dalam pasar tradisional diayunkan secara pelan tanpa menyakiti. 

"Ini keinginan suami saya. Dulu, suami saya bilang jika usianya lebih dari 100 tahun maka akan melakukan tradisi angon putu," kata Sumi istri Notoraharjo.

Sebelum diajak ke pasar, anak, cucu dan cicit diajak kumpul keluarga di Desa Brambangan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kemudian, keluarga besar secara bersama-sama mendatangi pasar.

"Cucu yang besar diberi bungkusan berisi makanan ringan dan uang Rp 50 ribu dan kantong berisi biji-bijian biar kedepan anak tidak kekurangan pangan. Isi kantongnya yang menyiapkan anak-anak," kata Notoraharjo.

Tradisi angon putu, merupakan tradisi langka yang dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat Jawa. Tradisi, dilakukan jelang akhir tahun dimana harus pada libur panjang. Pasalnya, tradisi akan diikuti semua anak, cucu dan cicitnya baik yang tinggal dekat orang tua maupun yang berasal dari luar kota.

"Semua berencana ikut hadir acara tradisi angon putu. Tapi saudara dari Kudus terlambat karena ban bocor jadi masih beberapa yang kumpul," kata Suharti, anak kedua dari enam anak Notoraharjo.

Saksikan video pilihan berikut ini:

(https://www.vidio.com/watch/553566-enam-plus-pertahankan-tradisi-misa-natal-berbahasa-jawa-dan-bermusik-gamelan)

 

Diberi Uang Jajan

Diberi Uang Jajan
Uang jajan yang dibagi ke para cucu sudah diatur dalam pecahan kecil dan besar. (foto: Liputan6.com/felek wahyu)

Tradisi angon putu, baru dilaksanakan di tahun 2017 karena sang ayah mengucap janji jika usia lebih dari 100 tahun akan menggelar tradisi Jawa yang telah dilakukan kakek buyutnya. Rizki, salah satu cucu Notoraharjo kakek berusia 100 tahun mengaku senang dapat uang Rp 50 ribu dari kakeknya.

"Dina iki minggu pon tabuh tanggal 24 Desember 2017 aku duwe niat khajat lan dongake kanthi nyangoni urip rupa winihan muga-muga entuk hidayah saha inayah saking Gusti Muebeng Dumadi besukke kabeh keturunanku bisa tukul ngremboko kanthi urip rukun, mulyo, pangkat drajat sing becik, rejeki barokah. Sing iseh sekolah pada pinter, sukses, nyambut gawe sing tekun, jujur, sregep sholat, berdoa, iman taqwa, panjang umur, anak yang sholeh sholekah, ayem tentrem, slamet. Wilujeng aja lali amal sing akeh marang sedulur anak yatim piatu sebab kabeh mau minongko titipan seng gawe urip.

(Hari ini minggu pon 24 Desember 2017, saya punya hajat dan mendoakan dengan membekali hidup berupa benih semoga mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Kelak semua keturunanku bisa berkembang dengan rukun, mulia, memiliki derajat dan rejeki yang berkah. Yang masih bersekolah menjadi pintar, sukses. Yang bekerja bisa lebih tekun , jujur, rajin salat, panjang umur, anak yang soleh, damai sejahtera. Jangan lupa bersedekah kepada anak yatim, karena semua yang kalian miliki hanyalah titipan Allah SWT)," demikian Notoraharjo berpesan dalam bahasa Jawa.

Angon Putu diawali dengan sungkeman. Anak-anak, cucu dan cicitnya sungkem kepada pasangan Notoraharjo dan Sumi yang dilakukan di rumah sang kakek. Usai sungkeman, mereka diajak melakukan napak tilas perjalanan hidup Notoraharjo dan Sumi.

Napak tilas dimulai dari sekolah sang orang tua hingga bekerja untuk menghidupi keluarga.Setelah napak tilas, Notoraharjo dan Sumi memberi sangu atau uang kepada anak-anak dan cucunya berupa uang pecahan Rp 10 ribu dan Rp 5 ribu dengan total Rp 50 ribu yang dimasukkan ke dalam amplop.

Uang itu lalu digunakan untuk jajan di Pasar Fajar Purwodadi. Mereka dibebaskan membeli apapun yang diinginkan.  Uang saku yang diberikan harus uang Notoraharjo dan Sumi sendiri. Dimana, uang sengaja disiapkan untuk upacara Angon Putu. Setelah kembali dari pasar mereka digiring pulang ke rumah.

Notoraharjo mengenakan beskap jangkep. Sumi mengenakan kebaya dan jarit. Notoraharjo duduk di kursi roda membawa cambuk sebagai alat menggiring. Diibaratkan orang yang sedang angon atau menggembala hewan ternak, cambuk itu berfungsi untuk menggiring agar ngon-ngonan (gembalaan) tidak jalan sendiri-sendiri namun terarah.

 

KB dan Kepunahan Tradisi

KB Dan Kepunahan Tradisi
Meskipun sudah dewasa, seorang cucu dianggap anak kecil yang boleh jajan makanan kecil di pasar oleh sang kakek. (foto: Liputan6.com/felek wahyu)

Budayawan Al Agus Supriyanto mengatakan bahwa tradisi angon putu merupakan tradisi yang sudah turun temurun itu hampir punah.

“Tidak saja usia nikah yang bertambah lebih dewasa. Namun kesadaran orang untuk tidak memiliki anak terlalu banyak melalui program keluarga berencana juga menjadi alasan tradisi angon putu mulai luntur dan cenderung menghilang. Syaratnya kan harus punya cucu plus cicit minimal 25 orang,” kata Agus.

Selain itu, usia hidup yang makin pendek juga mengakibatkan orang belum mencapai jumlah yang disyaratkan meninggal. “Dulu orang tua usia lebih dari 100 tahun banyak ditemui, sekarang sangat jarang,” katanya.

Angon Putu ini merupakan tradisi Jawa yang sudah lama ada. Namun tradisi ini memang tidak sepopuler tradisi Jawa lainnya seperti upacara lahiran, khitanan atau kematian. Jaman dulu tradisi ini merupakan wujud rasa syukur sebuah keluarga atas keberkahan pada dirinya dan para cucu. Biasanya diadakan jika cucunya sudah mencapai sekitar 25 orang.

Selain itu, Angon Putu juga sebagai cara untuk mendekatkan antar sanak saudara. Mengingat, setelah menikah rata-rata anak pergi merantau dan sibuk dengan urusan keluarga. Tradisi Angon putu merupakan bagian dari upacara Tumbuk Ageng. Upacara yang menandakan siklus kehidupan masyarakat Jawa menjelang tua, biasanya saat berumur 64 atau 80an tahun dan sudah memiliki lebih dari 25 cucu.

Tumbuk berarti berarti bertepatan atau bersamaan, sedangkan ageng berarti agung atau besar. Jadi upacara ini diadakan tepat pada saat seseorang berusia 8 x 8 tahun (64 tahun). Pada usia 64 ini dipercaya hari wetonnya tepat sama dengan weton saat dia lahir ke dunia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya