Membedah Makna Kebinekaan dalam Tembang Jawa

Melalui macapat pula seseorang dilatih bersikap sabar, penuh ketenangan, dan lapang dada.

oleh Ika Ningtyas diperbarui 20 Des 2017, 10:01 WIB
Diterbitkan 20 Des 2017, 10:01 WIB
Ilustrasi Macapat
Macapat. (Liputan6.com/Dok. pariwisata.bantul.go.id)

Liputan6.com, Banyuwangi - Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Seni membaca macapat bukan sekadar merefleksikan peristiwa sejarah. Di Banyuwangi, Jawa Timur, pembacaan macapat menjadi cara untuk mempromosikan keberagaman bangsa.

Semangat itu tampak pada acara Pembacaan Tembang Lintas Budaya: Mocoan Osing, Macapatan Jawa, Mabasa Bali, Mamaca Madura Babad Tawangalun di Rumah Budaya Osing, Desa Adat Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Pagelaran seni itu diikuti 13 juru tembang bercengkok Jawa, Madura, Bali, dan Osing. Mereka menembangkan naskah Babad Tawangalun secara bergantian mulai Minggu sore hingga Senin dini hari, 17-18 Desember 2017.

Macapat menjadi salah satu tradisi Nusantara yang masih hidup saat ini. Jumlah komunitas yang melestarikan budaya Jawa itu kini bisa dihitung dengan jari.

Di masa lalu, tradisi lisan seperti macapat dipakai para leluhur untuk mengedukasi masyarakat. Melalui macapat pula seseorang dilatih bersikap sabar, penuh ketenangan, dan lapang dada.

Babad Tawangalun menggambarkan kisah intrik perebutan kekuasaan, masa kejayaan, hingga masa-masa menjelang keruntuhan Kerajaan Blambangan. Blambangan adalah cikal-bakal daerah Banyuwangi di masa kini.

Simak video pilihan berikut ini:

 

Makna Macapat

Malam 1 Suro, Tembang Macapat Bergema di Kaki Merapi
Malam 1 Sura digunakan sebagian masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, untuk melakukan tradisi.

Ketua panitia, Suhalik, mengatakan bahwa pelibatan empat etnis untuk membaca macapat itu sebagai wujud konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam kesenian. Cara ini dapat mengubur pengalaman pahit konflik antaretnis di masa lalu yang tergambar pada kisah Kerajaan Blambangan.

Konflik etnis, suku, dan agama berpeluang besar untuk menghancurkan peradaban manusia.

"Bhinneka Tunggal Ika itu jangan hanya jargon, akan tetapi harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Salah satunya bisa lewat kesenian," kata Suhalik, Senin dini hari.

Suhalik cukup prihatin dengan mengerasnya politik identitas dalam kehidupan sosial di Indonesia. Mengerasnya politik identitas itu, menurut dia, sebagai dampak dominasi politik praktis yang mengganggu pilar-pilar bangsa Indonesia.

Bila kondisi ini tidak diselesaikan, dia khawatir akan terjadi konflik antargolongan yang semakin besar.

 

Pelestarian Seni Tradisi Lokal

Kirab Kerbau Bule
Para abdi dalem sedang membawa salah satu pusaka yang dkirab pada malam 1 Sura di Keraton Kasunanan Surakarta,Kamis malam (21/9).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Menurut juru tembang adat Jawa, Kuncoro Prasetyaning Widi, acara ini merupakan bagian dari keterlibatan berbagai pihak demi melestarikan seni tradisi lokal. Selain itu, untuk merespons kondisi bangsa yang mulai terpecah karena sentimen agama dan suku.

"Lewat pembacaan Babad Tawangalun, kami ingin merefleksikan bahwa kami bisa menyatu di antara perbedaan," kata Kuncoro.

Senada dengan Kuncoro, juru tembang lainnya, Adi Purwadi, mengatakan bahwa seni budaya merupakan alat pemersatu semua suku yang ada di Indonesia. Termasuk juga di Banyuwangi, tempat menetap berbagai suku seperti Jawa, Bali, Madura, dan Osing.

"Kami berharap kegiatan seperti ini terus berlanjut," ujar Purwadi. (Laporan Hafiluddin Ahmad)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya