Asmat, Kota Seribu Papan di Atas Rawa

Rumah warga merupakan rumah panggung di atas rawa-rawa. Tidak ada sumur air bersih sehingga warga mengandalkan air hujan untuk masak.

oleh Katharina Janur diperbarui 04 Feb 2018, 16:01 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2018, 16:01 WIB
Papua
Sebagian besar rumah warga di Asmat dari kayu. (Liputan6.com / Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura Kabupaten Asmat yang terletak di bagian selatan Provinsi Papua menjadi ramai diperbincangkan semua pihak dan menjadi sorotan media massa. Bukan karena suatu prestasi yang membanggakan, tetapi justru menyedihkan.

Asmat dilanda gizi buruk dan wabah campak. Data Posko Kesehatan Kejadian Luar Biasa (KLB) Asmat menyebutkan 72 anak dan balita meninggal dunia akibat gizi buruk dan campak, sepanjang September 2017 hingga 3 Februari 2018.

Penyebab utamanya adalah minimnya imunisasi anak secara berkelanjutan dan akses geografis di Asmat yang sulit menjangkau warga yang bermukim di 23 distrik dan 244 kampung itu.

Hampir 99 persen lokasi permukiman penduduk di Asmat didirikan di atas rawa yang struktur tanahnya tak pernah kering. Untuk tembus dari satu distrik ke distrik lainnya, jangan harap bisa melalui jalur darat, sebab tak ada jalan darat yang dibangun di Asmat.

Hanya ada jalur air yang bisa ditempuh menggunakan alat transportasi sungai, seperti kapal motor atau kapal cepat. Bahkan, masih ada masyarakat lokal yang mengendarai kole-kole yakni sampan kayu dengan dayung panjang, untuk dapat pergi dari satu kampung ke kampung lainnya atau menuju ke hutan untuk mencari sagu ataupun gaharu.

Asmat terletak di dataran rendah, berawa-rawa, dan berada pada ketinggian 10 dpl memiliki luas 23.748 meter kilometer persegi. Seluruh wilayahnya adalah rawa, sehingga tidak akan ditemukan kebun sayur-sayuran atau buah-buahan. Sayur dan buah-buahan yang dijual di Pasar Agats didatangkan dari Timika atau Merauke.

Penduduk Asmat sampai saat ini tercatat 88.578 jiwa terbagi atas laki-laki 45.579 jiwa dan perempuan 42.999 jiwa.

Letak Kabupaten Asmat diapit oleh Kabupaten Merauke, Mappi, Mimika, Yahukimo dan Nduga. Populasi masyarakatnya terbagi dua yaitu warga yang hidup di pesisir pantai dan pedalaman. Mayoritas masyarakat Asmat masih menjadi peramu dan melakukan pemahatan dan mengukir patung, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

 

Sulitnya Menembus Asmat

Papua
Jalur udara menuju Asmat, selalu melewati sungai-sengai lebar. (Liputan6.com / Katharina Janur)

Untuk menuju ke Asmat dapat dilakukan dengan transportasi udara dan transportasi laut. Lewat jalur udara, dilakukan dari dua lokasi berbeda yakni dari Mimika dan Merauke ke Bandara Ewer di Agats, Kabupaten Asmat.

Lama penerbangan sekitar 45 menit dari Mimika atau Merauke. Pemerintah setempat menyediakan penerbangan subsidi dengan pesawat berbadan kecil, selama seminggu ada tiga kali penerbangan. Harga tiket yang dipatok dalam penerbangan subsidi ke Agats sekitar Rp 360 ribu hingga Rp 400 ribu.

"Jika tak subsidi, harga tiket pesawat mencapai Rp 2 juta-an. Lalu, jika naik kapal penumpang harga tiket sekitar Rp 200 ribu," kata Abdel, salah satu jurnalis di Merauke yang biasa melakukan peliputan di Asmat.

Perjalanan ke Asmat juga bisa dilakukan menggunakan alat transportasi air. Dari Timika ke Asmat, biasa dilayani dua kapal penumpang yakni KM Tatamilau dan KM Lauser, dengan lama perjalanan 10-11 jam perjalanan.

Berbeda jika ditempuh dengan kapal penumpang dari Merauke, bisa ditempuh perjalanan lebih panjang ke Asmat, yakni 36 jam perjalanan laut.

Rumah warga merupakan rumah panggung yang dibangun di atas rawa-rawa. Tidak ada sumur air bersih sehingga warga mengandalkan air hujan untuk mandi dan memasak. Jalan raya pun dibangun di atas jembatan. Dulunya Kota Agats dijuluki kota sejuta papan, tetapi kini jalan papan sudah digantikan dengan jalan beton.

Kabupaten Asmat awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Merauke yang terdiri dari kecamatan Agats, Ayam, Atsj, Sawa Erma dan Pantai Kasuari. Hingga saat ini Kabupaten Asmat terdiri dari 10 Distrik (Agats, Atsj, Akat, Fayit, Pantai Kasuari, Sawa Erma, Suator, Kolf Brasa, Unir Sirau dan Suru-suru).

"Distrik terjauh dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat bisa ditempuh dengan 7 jam transportasi sungai. Sementara distrik terdekat, bisa ditempuh dengan 2 jam perjalanan sungai," Abdel menambahkan.

Papua
Pasien gizi buruk di Asmat. (Liputan6.com / Katharina Janur)

Kematian Sia-sia

Gizi buruk dan wabah campak yang menyebabkan kematian bagi anak-anak di Asmat, ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi. Sebuah pepatah yang sering digunakan dalam kehidupan bangsa kita, yang menggambarkan betapa kayanya tanah air Indonesia, tetapi ironisnya masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.

Terlebih di Papua yang selama ini diyakini sebagai provinsi terkaya di Indonesia, tetapi kematian anak akibat wabah penyakit, busung lapar menjadi berita yang sering didengar dari daerah ini.

Tokoh Agama Katolik Papua, Pastor Neles Tebay mencatat sejak April hingga Juli 2017, sebanyak 50 balita meninggal di Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai.

Sesudah itu, sejak Juli hingga oktober 2017, sebanyak 35 anak Papua meninggal di Kampung Yigi, Distrik Inikgal, Kabupaten Nduga. Setelah kasus Asmat ditemukan, juga ada kematian 23 anak di Pedam, Okbab Pegunungan Bintang karena wabah penyakit dan gizi buruk.

Anggaran besar yang dikelola pemerintahan di Papua, bukanlah jaminan untuk masyarakatnya bisa mendapatkan pelayanan dasar.

Buktinya sejak 2002 lalu, Papua telah menerima dana Otsus yang nilainya bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya nilai APBN. Untuk 2017, Papua mendapatkan dana Otsus Rp 4,2 triliun dan pada 2018 ini sebesar Rp 5,1 triliun.

Bahkan, oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe sejak 4 tahun terakhir, pembagian dana Otsus Papua menjadi 80:20 persen. Artinya, 80 persen dikelola oleh 28 kabupaten dan 1 kota se-Papua dan 20 persen dikelola Pemerintah Provinsi Papua.

"Sudah jelas dana otsus ada peruntukkannya. Dana yang diserahkan ke kabupaten/kota sudah diatur 15 persen digunakan untuk pelayanan kesehatan. Saya pikir ada kekeliruan dalam membuat program pembangunan kesehatan di daerah, sehingga kasus semacam ini terjadi," kata Ketua Komisi Anggaran DPR Papua, Carolus Bolly, Minggu (4/2/2018).

Dia menjelaskan, imunisasi anak yang baru lahir sampai usia 9 bulan merupakan hal yang sangat mendasar dan tidak boleh dilalaikan, tetapi ternyata hal itu disepelekan dan terbukti banyaknya anak yang meninggal karena wabah.

Untuk itu, DPR Papua akan membuat Pansus kasus Kejadia Luar Biasa (KLB) Asmat, guna menemukan solusi agar tidak terulang kembali dan tidak terjadi di daerah lain di Papua.

John N Gobay yang juga anggota DPR Papua dari jalur Otsus mengatakan masalah KLB di Asmat bukan hanya tanggung jawab instansi kesehatan, tetapi justru harus dilakukan secara bersama oleh semua pihak.

"Kesehatan berkaitan dengan pemukiman yang higienis, air bersih, asupan gizi. KLB Asmat harus diselesaikan dengan keroyokan untuk mendapatkan kehidupan masyarakat yang berkualitas," dia menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya