Liputan6.com, Bandung Sabtu sore itu langit tampak cerah. Udara terasa cukup panas meski matahari sudah agak condong ke barat. Jalanan pun tidak terlalu ramai, sehingga tidak butuh lama untuk mencapai salah satu sudut Kota Bandung, tepatnya di kawasan Cibiru Hilir.
Tak jauh dari mulut jalan raya itu, sekitar 200 meter terdapat Pondok Pesantren Anak Jalanan At-Tamur di Masjid Syahida. Di sebuah saung bambu yang dikelilingi tumbuhan dan pepohonan, para muda-mudi yang berbeda agama dan budaya itu merajut harmoni.
Ada sekitar 30 orang untuk menghadiri dialog tersebut dengan penampilan yang berbeda-beda. Ada yang mengenakan kaus biasa, ada yang memakai peci hitam, dan ada pula yang menggunakan gamis. Yang perempuan, ada yang berjilbab, ada pula yang tidak.
Advertisement
Baca Juga
Mereka adalah para peserta Sekolah Damai Indonesia wilayah Bandung. Latar belakang mereka juga beragam. Ada yang pekerja swasta, anggota ormas, mahasiswa, aktivis gereja dan sebagainya.
Sekolah Damai yang diadakan setiap Sabtu ini sudah memasuki pertemuan ke-13. Dalam pertemuan kali ini peserta mendapatkan materi analisis struktural yang difasilitasi langsung oleh Lioni Beatrik Tobing.
Awalnya, Lioni menjelaskan kepada peserta soal transformasi dari simpati ke empati. Lalu ia menjelaskan soal isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat hingga mengajak para peserta untuk melihat fenomena tersebut ke akar masalah yang terjadi.
Tak hanya itu, para peserta diajak melakukan simulasi berupa menggambar di atas sehelai kertas. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan mata mereka ditutup oleh kain. Seorang pemimpin kelompok harus memberikan instruksi namun tanpa ada nada suara. Setelah selesai menggambar dengan mata tertutup, peserta diajak berefleksi.
Sedangkan dalam simulasi kedua, masih dengan mata tertutup, tetapi pemimpin kelompok boleh bicara. Mereka terus menggambar. Setelah selesai, peserta kembali melakukan refleksi. Hingga pada simulasi ketiga, peserta diperbolehkan menggambar tanpa aturan. Namun, peserta justru ada yang memakai kain menutup mata dan terus menggambar.
Melalui simulasi tersebut, Lioni ingin menyampaikan kepada peserta soal budaya penindasan. Hal-hal yang menindas, kata Lioni, dianggap biasa karena kita harus mengikuti aturan. Suka atau tidak aturan tetap aturan.
"Lewat permainan ini, peserta diajak untuk sadar bahwa mereka juga punya suara, punya kebutuhan. Tetapi kadang orang lupa akan hal itu karena ada aturan-aturan tadi," tutur Lioni.
Dialog dan Refleksi
Kegiatan Sekolah Damai Indonesia di Bandung yang dipelopori Lioni, alumnus School of Peace 2008 asal Indonesia, rutin mengadakan dialog antar agama dan lintas budaya setiap Sabtu. Acara yang dimulai sejak akhir Februari 2018 ini terbuka untuk umum, tidak dipungut biaya sepeser pun alias gratis.
Mulanya, Sekolah Damai Indonesia pertama kali digelar pada 2006 lalu. Sebanyak tujuh kali menggelar kegiatan ini, sudah ada beberapa alumni yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka pun membentuk badan hukum pada 2016 hingga satu tahun setelahnya menyelenggarakan Sekolah Damai Indonesia secara regional.
Lioni mengatakan, Sekolah Damai Indonesia adalah gerakan membangun jaringan individu dan kelompok dari berbagai latar belakang yang berkomitmen dan berbagai lintas agama untuk keadilan dan perdamaian.
Selama lima minggu awal, para peserta berdialog dengan topik identitas. Tidak hanya berdialog, peserta juga merefleksikan pengalamannya soal identitas mereka mulai dari agama, suku, dan lain sebagainya.
Pada sesi berikutnya, mereka membahas soal konflik. Tema ini diangkat karena tidak jarang dalam hidup bersama, konflik seperti kekerasan dan ketidakadilan muncul. Dalam pertemuan ini peserta diharapkan dapat mengatasi konflik dengan mengetahui akar permasalahannya.
Selanjutnya atau pada lima minggu berikutnya adalah pertemuan untuk mengatasi perbedaan. Pada fase ini peserta diharapkan dapat mempraktekkan pemahaman dari pertemuan sebelumnya dengan bentuk yang lebih nyata seperti menulis, fotografi hingga pementasan teater.
"Terkadang kita lupa pada hal-hal kecil, makanya dari awal pertemuan kita tegaskan melalui pertemuan yang membahas identitas. Bagaimana identitas bisa menghasilkan konflik melalui bias prasangka, diskriminasi dan stereotip dan bagaimana kita bisa memupus hal itu," ucapnya.
Dalam beberapa pertemuan, pihaknya mengundang sejumlah pembicara dari berbagai isu mulai dari gender, intoleransi, keyakinan atau kepercayaan dan ketidakadilan.
"Di kelas ini saya dorong mereka keluar dari situasi nyaman dengan teman di sekitar. Kita coba ajak orang dengan latar yang berbeda. Karena menurut saya perlu juga mempertemukan orang yang berbeda latar belakangnya," jelas perempuan yang telah menyelesaikan studi Magister pada jurusan Ilmu Politik di Ateneo de Manila University (Filipina) dan Studi Pembangunan Berkelanjutan di University for Peace (Kosta Rika) ini.
Sama seperti kegiatan Sekolah Damai sebelumnya, Lioni berharap, para peserta terutama generasi muda membuka lebih luas soal cara pandang mereka.
"Saya berharap muncul pemikiran kritis terutama terhadap ketidakadilan. Tanpa keadilan, tidak ada kedamaian," ucapnya.
Advertisement
Berpikir Kritis
Meskipun kegiatan ini masih dalam lingkup terbatas dan informal, aktivitas yang dilakukan Sekolah Damai Indonesia berdampak positif bagi dengan terbukanya dialog antar agama. Tanpa dialog, tidak akan pernah ada persatuan dan kesatuan.
Salah seorang peserta, Rike Adelia Hermawan (20) mengungkapkan, materi yang disampaikan melebihi ekspektasi yang diharapkan. Namun, dari pertemuan ini mahasiswi Pendidikan Agama Islam UIN Bandung ini mendapatkan pengalaman baru.
"Misalkan, orang yang dapat musibah selama ini cukup diberi donasi. Tetapi di sini saya temui ada langkah memperbaiki keadaan yang jauh lebih dalam. Kalau diskusi lain kita juga hanya membahas toleransi dari permukaan. Di sini kita harus berpikir kritis misal tentang apa itu identitas," ujarnya.
Selain kesan, Rike berharap, ke depan dapat mempraktikkan hal-hal yang didapat di Sekolah Damai.
"Saya mulai bikin rencana untuk terlibat langsung mengingat saya tertarik di lintas iman, akan sering berdialog dan diskusi," kata Rike.
Kesan gembira mengikuti kelas diungkapkan juga oleh Ary Maulana (22). Pemuda yang baru lulus dari UIN Bandung jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir ini mengaku mendapat perspektif baru terhadap perbedaan agama dan suku.
"Saya belum bergerak terlalu besar, tetapi pelan-pelan mulai berani melakukan sesuatu, minimal berdialog dengan orang yang latar belakangnya berbeda. Sebelumnya saya cuma sekadar tahu dan tidak mau menelusuri," ucap Ary.
Ia pun berencana untuk bercerita kepada rekan-rekannya soal pengalamannya mengikuti kegiatan. "Saya ingin menulis, tapi yang pastinya akan saya ceritakan pada teman-teman bahwa dialog adalah sikap saling mempercayai. Kalau curiga selalu dikedepankan, tidak akan ada dialog," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: