Tangan Istimewa Para Mama Penenun Ikat di Belu

Menenun bagi para mama di Belu adalah kehidupan. Kain tenun yang dihasilkan adalah warisan bagi generasi masa depan.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jul 2018, 13:30 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2018, 13:30 WIB
Pariwisata
Festival tenun ikat d Sumba, NTT (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Belu - Puluhan mama atau perempuan berkeluarga sibuk mengisi hari-harinya dengan membuat kain tenun ikat di sebuah rumah adat di Desa Paturika, Kecamatan Raimanuk, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dilansir Antara, perjalanan menuju lokasi dari pusat kota yakni Atambua sejauh sekitar 30 kilometer membutuhkan waktu kurang lebih selama 1,5 jam menumpang kendaraan. Selama perjalanan, akan terlihat pemandangan berupa padang ilalang di sepanjang jalan tersebut.

Perjalanan menuju Desa Paturika tidak mudah karena harus melewati medan yang berat. Desa tersebut terletak di Bukit Mandeu yang jalur menuju lokasinya terjal dan berbatu-batu. Dibutuhkan kendaraan bertenaga besar untuk bisa sampai di Desa Paturika, tempat para mama berjumlah sekitar 30 orang itu berkumpul untuk menenun.

Mereka menenun bersama hampir setiap hari dari pukul 09.00 pagi hingga 16.00 WIT, kecuali Minggu. Dari beberapa desa yang terletak di Gunung Mandeu, hanya mama-mama dari Desa Paturika yang menenun secara bersama-sama. Mama-mama di desa-desa lain selain Paturika, biasanya menenun sendiri di rumah masing-masing.

Menurut mereka, menenun adalah kehidupan, untuk mengais rezeki sekaligus upaya melestarikan budaya adat setempat. Mereka pun menurunkan kemampuan menenun itu kepada anak-anak masing-masing.

"Semua mama di sini ajari anak-anak menenun. Kalau mereka (anak-anak) tidak diajari, nanti kami mati, siapa yang bisa meneruskan menenun," kata Yusti Namriahoar, salah seorang perajin kain tenun.

Usai lulus sekolah dasar, Yusti tidak meneruskan sekolah dan mulai belajar menenun. Tidak terasa pada usianya kini yang menginjak 39 tahun, Yusti telah menggeluti kegiatan menenun selama hampir 30tahun.

"Kalau cuma duduk (diam) saja, kami tidak dapat uang. Dengan menenun, kami bisa dapat uang. Setelah menenun, saya bisa bantu suami berkebun," katanya.

Yusti tak sendiri. Ada 29 orang mama di desanya yang mayoritas tak meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, memutuskan untuk menjadi perajin kain tenun.

Proses penenunan kain-kain tenun itu membutuhkan waktu mulai dari empat hari hingga paling lama dua bulan per lembarnya. Kain-kain tenun yang sudah jadi selanjutnya dibawa oleh ketua kelompok tenun Paturika ke Pasar Halilulik, Atambua untuk dijual.

Harga kain tenun termurah adalah Rp 250 ribu dan termahal dapat mencapai kisaran Rp 2,5 juta. Uang hasil menenun digunakan para mama untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah bagi anak-anaknya.

 

 

Pewarna Alami

Tenun NTT
Julie S Laiskodat berpose bersama para model yang memakai LeViCo tenun NTT (Liputan6.com/Pool/Julie S Laiskodat)

Adalah istri Bupati Belu, Lidwina Viviawaty yang berupaya membuat kain tenun Belu untuk kembali menggunakan pewarna alami. Perempuan yang akrab dipanggil Vivi ini merupakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Belu yang sering memberikan pelatihan kepada para mama di daerahnya untuk terampil dalam menggunakan pewarna alami.

Peserta pelatihan adalah para mama yang merupakan anggota sejumlah kelompok penenun di 69 desa yang terdapat di 12 kecamatan termasuk Kecamatan Raimanuk. Vivi berujar, proses pengolahan bahan pewarna alami sampai dapat mengeluarkan warna yang diinginkan berbeda-beda tergantung bahan yang digunakan.

Pewarna alami yang digunakannya antara lain daun jati, batang mahoni, indigo vera, suji, kunyit, akar mengkudu dan daun pucuk jati.

"Dalam tiga hari training itu, para peserta belajar memetik daun-daun pewarna alam. Mengetahui perlakuan apa yang tepat terhadap pewarna alam sehingga warna yang dihasilkan maksimal. Ada yang dimasak, ada yang tanpa dimasak, cuma direndam saja. Ada yang harus difermentasi," kata Vivi.

Pemberian pelatihan ini penting karena mayoritas kelompok tenun masih menggunakan pewarna kimia dengan alasan mudah untuk didapatkan, murah, dan cepat proses pewarnaannya.

Sementara, adanya kekhawatiran tentang kualitas kain tenun berpewarna alami, Vivi pun memastikan bahwa kain tersebut tidak akan mudah pudar warnanya karena dalam proses pengerjaannya, kain tenun akan melewati proses fiksasi terlebih dulu.

"Fiksasi itu untuk mengunci warna sehingga tahan lama," katanya.

Perawatan yang harus dilakukan pengguna kain tenun pun cukup mudah. Bila hendak dicuci, kain harus dicuci dengan menggunakan sampo atau bisa dengan metode cuci kering.

Di bawah asuhan Vivi, kain tenun Belu akan dipromosikan ke luar negeri pada acara Pameran Indonesia Moscow, di Moskow, Rusia pada 2-5 Agustus 2018. Pihaknya mempersiapkan acara dengan maksimal untuk menampilkan berbagai jenis kerajinan kain tenun Belu dalam acara tersebut.

"Kami dapat booth gratis. Tentunya kami akan mempersiapkan. Kami akan bawa kain tenun, anyaman, tas, selendang, selimut dan pakaian jadi. Supaya tahu bahwa tenun Belu, selain bisa jadi selimut dan syal, tenun kami itu bisa jadi fesyen," kata Vivi, sapaannya, tentang model busana atau fashion.

Melalui ajang tersebut, pihaknya berharap kain tenun Belu bisa dikenal masyarakat di luar negeri.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya