Liputan6.com, Papua - Butir-butir aibon warna kuning gading mengalir dari tangan Selvi Sawen (68). Keriput tangannya tidak menghalangi kecepatannya untuk mengupas buah pohon bakau dengan menggunakan kulit kerang.
Butir-butir itu adalah hasil dari pohon aibon, salah satu spesies penyusun hutan mangrove.
Selvi mengolah buah mangrove alias aibon menjadi penganan bagi diri dan keluarganya.
Advertisement
"Kalau meti (air laut surut), kami mengambil buah aibon di hutan lalu direbus sampai lembek, baru dikuliti dan diiris dengan pisau, dulu sebelum ada pisau pakai kulit kerang, kemudian diredam ulang," kata Mama Selvi saat ditemui di rumahnya di Kampung Sowek, Kabupaten Supiori, Papua dilansir Antara.
Baca Juga
Ia tinggal di rumah berlabuh (rumberlab) yang tegak berdiri di atas lautan sehingga sumber air tawar berasal dari tadahan air hujan atau mengambil air dari mata air di daratan.
"Di rumberlab kami rendam pakai air garam, kemudian direbus dengan air tawar," ungkap dia.
Berdasarkan penelitian Zita Letviany Sarungallo dan kawan-kawan di Jurnal Natur Indonesia (2010) berjudul "Sifat Fisikokimia dan Fungsional Pati Buah Aibon", pohon aibon merupakan salah satu spesies penyusun hutan mangrove.
Potensi pohon aibon pada hutan mangrove di Distrik Supiori Selatan, Kabupaten Supiori, Papua seluas sekitar 120 hektare, dengan potensi buah 6.228,8 kilogram per hektare.
Buah aibon berbuah tiga kali dalam setahun dengan jangka waktu berbunga sampai waktu panen selama enam bulan, sehingga buah ini selalu tersedia sepanjang tahun.
Walaupun demikian, pemanfaatan buah aibon sebagai bahan pangan belum populer di masyarakat karena kurangnya informasi mengenai pemanfaatan maupun proses pengolahannya.
Buah aibon mengandung protein 3,88 persen, lemak 0,851 persen, abu 1,24 persen, serta karbohidrat 94,03 persen, dengan kadar pati 67,75 persen, total gula 4,56 persen, dan serat kasar 11,48 persen.
Dengan kandungan karbohidrat dan pati yang cukup tinggi, buah aibon berpeluang dikembangkan sebagai sumber pati baru di Indonesia.
Cerita Masyarakat soal Aibon
Aibon menurut cerita masyarakat merupakan makanan yang ikut mempertahankan kehidupan ketika wabah kolera dan kelaparan melanda hampir sebagian besar Pulau Papua. Aibon juga termasuk barang yang dijadikan bahan untuk barter masyarakat Sowek dengan warga di wilayah lain, termasuk menukarkan dengan anak gadis atau perempuan. Maka terjadi pula perkawinan campur.
Kampung Sowek berada di Distrik Kepulauan Aruri, Kabupaten Supiori. Kabupaten Supiori merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Biak Numfor.
Sebagian besar rumah di Sowek merupakan rumberlab di atas permukaan laut yang memang sudah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Sowek.
Filosofi orang Sowek sebagai nelayan, bahwa model rumah ini menunjukkan ciri khas nelayan. Rumah dibangun dengan menggunakan bahan dari pohon sagu, sedangkan penataan rumah berdasarkan marga setiap warga di Kampung Sowek.
Meski sudah mengonsumsi aibon sejak kecil, Selvi mengaku pemanfaatan aibon untuk meningkatkan ekonomi warga masih terbatas.
Ia bersama sekitar 10 perempuan Kampung Sowek tergabung dalam Kelompok Debora untuk mengolah aibon menjadi barang ekonomis, yaitu kue bolu dan kue kering.
Dengan mencampurkan berbagai bahan untuk membuat kue pada umumnya, seperti tepung terigu, telur, gula, susu, soda kue, vanila, pelembut kue, dan bahan-bahan lain, Kelompok Debora menjual kue bolu seharga Rp200 ribu per loyang dan Rp 60 ribu untuk kue kering per toplesn.
Pemesan produk usaha mereka biasa berasal dari kabupaten lain, seperti Manokwari, Nabire, hingga Jayapura meski tanpa merek.
"Orang pesan kalau ada kegiatan Manokwari, Nabire, hingga Jayapura, kalau ada (orang, red.) yang dari Jakarta juga kadang memesan," ungkap Mama Selvi.
Namun, pemesanan hanya dilakukan dari mulut ke mulut karena sambungan telepon, apalagi internet, belum sampai Sowek. Sowek terletak di pulau dalam kawasan Kabupaten Supiori. Kabupaten Supiori ada di Pulau Supiori yang dipisahkan dengan Pulau Biak oleh Selat Sorendiweri.
Â
Advertisement
Kampung Sowek
Pulau Biak terletak di timur kepala burung Pulau Papua. Dari Biak, Kabupaten Supiori dapat ditempuh lewat jalan darat, namun untuk menuju Sowek, perjalanan dilanjutnya dengan menggunakan kapal motor dari Pelabuhan Korido sekitar 40 menit.
Hasil dari Kelompok Debora itu pun lebih sering untuk kebutuhan Gereja Kristen Injili (GKI) Elim Sowek karena kelompok Debora memang buatan gereja tersebut.
Mama Selvi mengaku untuk kegiatan non-gereja, kelompok itu menjelma menjadi Kelompok Odori meski anggotanya sama dengan Kelompok Debora. Kelompok Odori pernah mendapat modal Rp1 juta dari pemerintah setempat tetapi belum ada pelatihan teratur, khususnya untuk pemasaran hasil aibon.
"Harapannya, ke depan akan lebih banyak sosialisasi dari Dinas Pariwisata apalagi pada 2020 akan ada festival pariwisata jadi mulai 2019 atau tahun depan kami sudah mempersiapkan pondok-pondok penginapan maupun kerajinan anyaman untuk festival tersebut," tambah dia.
Sesungguhnya, selain potensi aibon dan anyaman tradisional, Kampung Sowek juga mempunyai potensi wisata dengan rumberlab dan wisata hutan mangrove yang terjaga asri.
Ketika Matahari mulai tenggelam, pemandangan dari Kampung Sowek mulai menjelma bagai kanvas yang diwarnai cahaya keemasan Matahari menuju ujung cakrawala yang menghasilkan campuran warna ungu, kuning, merah, dan jingga.
Kampung Sowek pun akan terus membuat rindu orang yang pernah singgah ke tempat itu untuk kembali seperti lagu tradisional yang dinyanyikan anggota Kelompok Debora.
"Kampung Sowek ku merantau jauh darimu tempat ayah bundaku sio saudara. Meskipun ku bagaimana takkan ku lupa Kampung Sowek yang selalu aku rindu. Kampung Sowek selalu terbayang menjadi impianku. Kampung Sowek dengan telukku yang indah permai yang selalu kurindu," begitu syair tembang itu.
Saksikan video pilihan berikut ini: