Liputan6.com, Aceh - Jabatan Wali Nanggroe (Wali Negara, red) di Provinsi Aceh yang dipegang Tengku Malik Mahmud Al-Haythar untuk kedua kalinya mulai digugat. Diduga ada gelombang besar yang tengah mengendap-endap hendak mengempaskan takhta Sang Wali.
Tengku Malik Mahmud Al-Haythar kembali mendapat lakab Paduka Yang Mulia 'Al-Mukarram Maulana Al-Mudabbir Al-Malik' setelah dia dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe, Jumat, 14 Desember 2018. Dia menjadi Wali Nanggroe untuk kedua kalinya hingga 2023, sesuai dengan masa kepemimpinan lembaga adat, yakni 5 tahun.
Tengku Malik Mahmud Al-Haythar atau dikenal khalayak Malik Mahmud saja, adalah Wali Nanggroe pertama pasca MoU, dan ke-X berdasarkan sejarah keberadaannya.
Advertisement
Baca Juga
Pria yang disebut-sebut lahir di Singapura ini pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (PM-GAM), kemudian diangkat menjadi Wali Nanggroe periode pertama pada 2012.
Ketika Malik Mahmud menjabat kembali pada 2018, keabsahannya dinilai cacat hukum. Disebut, Sang Paduka terpilih dengan cara-cara yang tidak demokratis, transparan, dan tidak melibatkan ulama dari 23 kabupaten/kota di Aceh.
Belakangan, yang getol menggugat adalah aliansi mahasiswa Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh-Wali Nanggroe (GEMPA-WN). Senin kemarin, GEMPA-WN berunjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang tak lain adalah lembaga yang mengukuhkan jabatan Sang Wali.
Selain bakar ban dan mendobrak pagar, mahasiswa mendesak DPRA menggelar sidang paripurna mencabut mandat Malik Mahmud, selaku Wali Nanggroe. Mereka juga minta Badan Pengawas Keuangan (BPK) mengaudit anggaran yang dialokasikan untuk Lembaga Wali Nanggroe selama kepemimpinan Malik Mahmud periode pertama.
Berkaitan dengan anggaran, di dalam qanun disebut Wali Nanggroe diberi tunjangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Tunjangan representasi, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan asuransi, tunjangan transportasi, tunjangan kesehatan, dan tunjangan pakaian dinas.
Selain itu, mahasiswa meminta lembaga adat tersebut memperkuat harkat dan martabatnya. Mereka meminta Waliyul'ahdi segera melakukan pemilihan ulang dengan membentuk komisi pemilihan Wali Nanggroe secara transparan.
Suara Aktivis Perempuan
Aktivis perempuan juga mahasiswa yang ikut dalam gelombang massa GEMPA-WN, Rahmatun Phounna, mengatakan pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe cacat hukum atau mengangkangi qanun. Tepatnya, melanggar Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 atas perubahan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.
"Seharusnya, Waliyul'ahdi membentuk komisi pemilihan terlebih dahulu. Ada Pasal 70 ayat 1 dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2013. Dan Pasal 70 ayat 2, bahwasanya pemilihan Wali Nanggroe atau Malik Mahmud kembali harus dihadiri tuha peut, tuha lapan, mufti, dan para alim ulama atau tokoh adat 23 kabupaten/kota," kata Phounna kepada Liputan6.com, Selasa sore, 29 Januari 2019.
Di hari pengukuhan Desember tahun lalu, memang sempat dilakukan pertemuan di 'Gedung Putih' atau nama lain Gedung Lembaga Wali Nanggroe, tapi tidak dihadiri perwakilan dari 23 kabupaten/kota. Ketika itu, keputusan memilih Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe untuk kedua kalinya, dalih situasi mendesak karena masa jabatan Wali Nanggroe telah habis.
"Jika pun masa Wali Nanggroe saat itu sudah habis. Kan, juga tidak harus terburu-buru. Bisa mengosongkan terlebih dahulu Wali Nanggroe-nya, kemudian Malik Mahmud silakan mendaftar, dibentuk dulu komisinya," pinta dia.
Phounna menyatakan, ia dan rekan-rekannya sesama mahasiswa akan terus menggalang dukungan hingga goals yang mereka inginkan tercapai. Konsolidasi, kata dia, akan dilakukan di sejumlah kampus seluruh kabupaten/kota di Aceh.
"Yang kontra jelas ada. Kita tidak mau mendengar isu-isu bahwa gerakan kami dibekingi. Karena kita tidak punya banyak tangan untuk menutup mulut-mulut mereka. Ini lahir dari hati," tegas Phounna, saat ditanyai tanggapan jika ada pihak tertentu mengklaim gerakan yang mereka lakukan bermotif kepentingan.
Advertisement
MoU Helsinki
Wali Nanggroe atau Lembaga Wali Nanggroe buah dari Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Kemudian dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 atas perubahan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.
Dalam angka 1.1.7. butir MoU Helsinki disebut, di Aceh akan dibentuk Lembaga Wali Nanggroe dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Menindaklanjuti butir tersebut maka melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka, ketentuan tentang pembentukan Lembaga Wali Nanggroe ditetapkan melalui qanun.
Keberadaan qanun Wali Nanggroe yang merupakan buah MoU Helsinki, serta otonomi diperkuat dua asas hukum, yakni lex specialis derogate legi generale, berarti ketentuan hukum yang khusus diutamakan dari pada ketentuan hukum yang umum. Dan, pacta sunt servanda berarti hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontra atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan iktikad baik.
Berdasarkan qanun, Lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina serta mengawasi penyelenggaraan kehidupan, adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar atau derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Sang Wali ini punya hak khusus, salah satunya imunitas.
Hak imunitas ini berlaku dalam forum rapat kelembagaan Wali Nanggroe terhadap pertanyaan, pernyataan, pendapat atau tindakan yang berkaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Adapun penyelidikan dan penyidikan terhadap Wali Nanggroe, selain yang disebut di atas, dapat dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari gubernur atas permintaan penyidik secara tertulis.
Wali Nanggroe memiliki hak khusus lain, yakni, protokoler, keuangan dan administratif, dan meminta pendapat. Secara kelembagaan, Lembaga Wali Nanggroe mempunyai sejumlah perangkat kerja, di antaranya Majelis Tinggi dan Majelis Fungsional.
Selain itu terdapat Waliyul'ahdi, selaku pemangku Wali Nanggroe. Waliyul'ahdi melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan Wali Nanggroe apabila Wali Nanggroe tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap.
Pandangan Eks GAM dan Pengamat Politik
Gerakan menolak legalitas keterpilihan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe tak luput dari sorotan berbagai pihak. Di antaranya Cut Man, yang merupakan eks-Panglima Sagoe Sjech Baghdad GAM, yang membawahi beberapa kecamatan di Aceh Barat, pada masa konflik.
Bagi Cut Man, jabatan Wali Nanggroe adalah bagian dari sejarah. Kepemimpinan Wali Nanggroe runut dengan kelanjutan kepemimpinan para ulama sekaligus pejuang, bahkan Kesultanan Aceh.
Runtut ke belakang, jabatan ini sebelumnya dijabat Tgk. Muhammad Hasan di Tiro, Tgk Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin, Tgk Chik di Tiro Mahjuddin bin Muhammad Saman, Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman, Tgk. Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman, Tgk. Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman, Tgk. Chik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman, dan Tgk. Chik di Tiro Muhammad Saman Bin Teungku Syeikh Ubaidillah, selaku Wali Nanggroe pertama. Melihat silsilahnya, hanya Malik Mahmud-lah yang punya nama keluarga Al-Haythar.
Menurut Cut Man, jika memang pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe tidak berdasarkan prosedur qanun, maka jabatan tersebut tidak sah. Pemilihan kembali niscaya harus dilakukan.
"Wali Nanggroe adalah wali seluruh lini menyangkut dengan Rakyat Aceh, diplomasi, ulama, pendidikan, dan lainnya, itu tanggung jawab Wali Nanggroe. Kalau ada temuan seperti yang disebut adik-adik mahasiswa, maka harus ada pemilihan kembali," tegas eks-Wakil Panglima Meulaboh Raya merangkap juru bicara ini, kepada Liputan6.com, Selasa (29/1/2019).
Sorotan juga datang dari pengamat politik Universitas Malikussaleh (Unimal), Taufik Abdullah. Dia berharap DPRA memberi penjelasan yang komprehensif berkaitan dengan pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe, untuk kedua kali.
"Ada alasan secara yuridis, kemudian politis, barangkali. Setidaknya, dua hal itu harus dijelaskan. Bagaimana pun, sikap DPRA, tidak terlepas dari hal tersebut. Maka, harus ada pemberian pemahaman yang benar terkait legal standing pengukuhan Malik Mahmud untuk kedua kali. Jadi sah-sah saja mahasiswa protes," ujar Taufik, kepada Liputan6.com, Selasa, (29/1/2019).
Di samping itu, Taufik mengklaim representasi ulama di internal Lembaga Wali Nanggroe memang belum ada secara kelembagaan, sehingga majelis pemilihan Wali Nanggroe dianggap tidak representatif.
"Ada banyak komponen yang belum selesai, terutama majelis pemilihan Wali Nanggroe," dosen yang pernah melakukan riset tentang 'Gerakan Mahasisa Aceh' ini memungkasi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement