Liputan6.com, Garut - Tidak seperti tahun sebelumnya yang diramaikan beberapa pertunjukan meriah, perayaan Imlek 2570 atau Tahun Baru China 2570 di Garut, Jawa Barat kali ini, terlihat lebih sederhana dan bersahaja.
Ketua Perkumpulan warga Tionghoa Garut Sanjaya mengatakan, di tengah situasi politik dalam negeri yang menghangat menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 17 April mendatang, perayaan pesta Imlek tahun ini, memang sedikit berbeda.
"Kami sengaja tidak terlalu menonjolkan perayaan Imlek, cuma silaturahmi biasa saja," ujarnya saat ditemui di Vihara Dharma Loka Garut, Senin (4/2/2019) malam tadi.Â
Advertisement
Menurutnya, situasi dan kondisi dalam negeri saat ini, ikut memengaruhi perayaan tahun baru China tersebut. Para warga etnis China yang berada di kota Intan, memilih merayakan pergantian tahun secara sederhana. "Paling nanti malam tepat pukul 00.00 kita nyalakan lilin untuk memanjatkan doa," kata dia.
Baca Juga
Sementara kegiatan lain seperti, pementasan barongsai yang merupakan tarian dan kesenian khas warga China, hanya dilakukan di kalangan internal wihara saja. "Itu pun sederhana, intinya kita ingin menjaga situasi dan kondisi sekitar," kata dia.
Khusus perayaan Imlek 2570 tahun ini, masyarakat Tionghoa Garut berharap agar situasi dan ekonomi Indonesia lebih maju, kondisi politik dalam negeri yang aman dan tenteram, serta bisa hidup berdampingan seluruh masyarakat meski berbeda etnis. "Tentunya kita juga meminta agar diberikan kesehatan dan umur panjang," ujarnya.
Jemaat Generasi Milenial Meningkat
Sanjaya menambahkan, untuk perayaan imlek tahun babi tanah kali ini, pihaknya telah menyiapkan sekitar 200 lilin merah berukuran sedang, termasuk sekitar 80 lampion berwarna merah yang terpasang di wihara sejak sepekan terakhir.Â
Tidak ada perayaan khusus untuk perayaan Imlek tahun ini. Pemandian dan penyucian patung suci para dewa dilakukan berbarengan saat pemasangan lampion. Sedangkan acara sakral, lebih banyak diisi dengan pemanjatan doa dan harapan.
Khusus tahun ini, ujar Sanjaya, ia merasa bersyukur sebab kehadiran jemaat generasi muda justru lebih banyak dibanding perayaan sebelumnya. "Mungkin bertambah dua kali lipat dibanding tahun lalu," kata dia.
Jika perayaan tahun lalu, kehadiran jemaat pemuda hanya berada di kisaran puluhan orang, tetapi kali ini kehadiran jemaat generasi milenial alias muda, justru terlihat lebih mendominasi dibanding orang tua. "Mungkin juga ada kesadaran yang tumbuh di antara mereka, semoga saja lebih banyak lagi yang mau beribadat," kata dia.
Seperti tahun sebelumnya, kegiatan Imlek masyarakat Garut tahun ini, kembali dipusatkan di wihara tertua di Jawa Barat tersebut. Ribuan warga masyarakat Tionghoa Garut, silih berganti memasuki wihara dan berkumpul bersilaturahmi dengan penganut agama lainnya.
Seperti diketahui, Vihara Dharma Loka Garut merupakan salah satu tempat ibadah suci tertua masyarakat Konghucu yang masih berfungsi. Bangunan ini yang berada di Jalan Guntur, Kelurahan Ciwalen, Kecamatan Garut Kota ini, diperkirakan mulai dibangun sekitar 1839 Masehi.
Dibanding bangunan tempat ibadah lainnya, bangunan lawas ini memiliki arsitektur khas, berupa dua patung naga besar yang saling berhadapan pada pintu masuknya.
Awalnya bangunan ini memiliki dua ruangan. Pertama, ruang Toa Pek Kong tempat bersemayam patung tua Pek Kong (Dewa Tanah), patung Ma Cho Po (Dewa Keselamatan), patung Chay Chen Kong (Dewa Keberuntungan), serta patung dan gambar harimau Prabu Siliwangi dan Kai (kayu) Kaboa.
Sedangkan ruang ke dua bernama Koang Kong, yang dihuni patung Koan Kong (Dewa Keadilan dan Kebenaran), patung Lam Kek Sian Kong (Dewa Kesehatan), dan Patung Mbah Jugo (Dewi Kesugihan) dari Gunung Kawi.
Selain itu, tepat di halaman wihara terdapat tungku khusus pembakaran hio sebagai persembahan kepada Tuhan dan pagoda dalam ukuran kecil yang berfungsi untuk pembakaran kertas berisi doa jemaat. Namun sejak 1967, ruangan wihara bertambah dua lagi yaitu Amurwa Bumi dan Avalokitesvara.
Advertisement
Silaturahmi Melalui Kue Keranjang
Seperti biasa, selain pesta barongsai dan kebudayaan khas warga Tionghoa lainnya, salah satu makanan yang kerap tersaji saat Imlek tiba adalah dodol keranjang atau dodol China biasa orang Garut menyebut. Sepintas makanan manis dengan bahan dasar tepung beras ketan dan gula ini, mirip dengan dodol Garut yang sejak lama menjadi makanan khas daerah.
Namun, dalam praktiknya ternyata berbeda. Bahan dodol Garut lebih banyak didominasi gula merah, gula kawung ataupun gula aren, selain bahan tepung ketan yang masih dominan, sedangkan, kue keranjang hanya menggunakan gula pasir, tanpa melibatkan gula aren atau kawung. Tak mengherankan, usia kue keranjang pun terbilang lama hingga satu tahun, tanpa ada perubahan rasa saat disantap.
Selain itu, berbeda dengan dodol Garut, dalam pembuatan kue keranjang ada sedikit perbedaan. Selain bentuknya yang bulat, juga tekstur dan warna yang berbeda, biasanya pembuatan dodol China dilakukan secara manual dengan tangan, tanpa bantuan mesin. Sedangkan, dodol Garut sudah mulai menggunakan teknologi mesin pencampur bahan.
Sanjaya menambahkan, meskipun ragam penganan enak terus bermunculan, tetapi kehadiran dodol China dalam setiap ritual tahunan perayaan Imlek merupakan sebuah keharusan yang menunjukkan identitas persaudaraan. "Cek saja biasanya di masing-masing rumah (jemaat Tionghoa) sudah menyiapkan kue keranjang," ujarnya menutup pembicaraan.
Â
Simak video pilihan berikut ini: