Saat Majelis Zikir Menolak Tambang di Aceh

Warga Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya menggelar zikir dan doa bersama menolak tambang di wilayah mereka.

oleh Rino Abonita diperbarui 10 Apr 2019, 22:00 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2019, 22:00 WIB
Aksi Tolak Tambang di Aceh
Foto: Rino Abonita/ Liputan6.com

Liputan6.com, Aceh - Surya telah kembali ke tetirah, malam merayap cepat. Dari kejauhan, terlihat titik-titik binar yang menandakan adanya kehidupan di tempat itu.

Kilasan lampu mobil sesekali menangkap pejalan kaki yang melintas di dalam kegelapan. Beberapa di antaranya mengenakan beanie, sejenis kupluk, topi khas penduduk yang tinggal di dataran tinggi.

Sejauh mata memandang, terlihat landaian. Suasana pedesaaan kian kentara oleh suara jangkrik dan gemuruh arus sungai.

Lantunan zikir yang awalnya sayup-sayup kini terdengar jelas ketika kendaraan dihentikan di depan sebuah masjid. Tampak puluhan warga sedang duduk meriung di dalamnya, berhias spanduk bertuliskan 'Doa Bersama Tolak Tambang PT EMM'.

Beberapa pezikir terlihat larut. Dua wanita dan seorang anak kecil yang duduk di saf paling belakang pun tak mau kalah.

Bait-bait zikir yang diucap lama kelamaan terdengar lirih. Suasana pun berganti rupa ketika warga mulai berdoa.

Cahaya lampu yang temaram melumat wajah-wajah yang tengah terisak itu. Getir terasa lebih pekat daripada hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum.

Warga Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, menggelar zikir dan doa bersama menolak tambang, Selasa malam (9/4/2019). Nasib tanah aulia sedang di ujung tanduk, kata mereka.

 

Mengawal Putusan

Zikir dan doa bersama dilakukan dengan harapan, gugatan terhadap Kepala BKPM RI yang mengizinkan PT Emas Mineral Murni (PT EMM) melakukan penambangan di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang diamini oleh hakim. Sidang putusan akan berlangsung di Jakarta, Kamis, 11 April 2019 nanti.

Gugatan terhadap Kepala BKPM RI didaftarkan ke PTUN Jakarta dengan nomor 241/G/LH/2018/PTUN.JKT pada 15 Oktober 2018 lalu. Penggugat dalam kasus ini adalah warga dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh.

Surat Keputusan Kepala BKPM RI Nomor 66/I/IUP/PMA/2017 tentang Persetujuan Penyesuaian dan Peningkatan Tahap Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam dalam Rangka Penanaman Modal Asing untuk Komoditas Emas kepada PT EMM pada 19 Desember 2017 lalu, diminta agar dibatalkan.

Walhi Aceh melalui kuasa hukum dalam persidangan pada 4 April lalu telah mengajukan kesimpulan. Sebanyak 63 bukti surat pendukung gugatan pun diperlihatkan, termasuk petisi, surat pernyataan tolak tambang dari anggota DPD Aceh, dan seorang siswa SD yang ditujukan kepada Presiden RI, Joko Widodo.

Keberadaan tambang ditakutkan berdampak buruk terhadap lingkungan, di antaranya, sungai tercemar, banjir dan longsor, serta mendorong pengalihfungsian hutan lindung, karena 6.000 hektare kawasan hutan yang masuk dalam area penambangan merupakan kawasan hutan lindung. 

Selain itu, keberadaan tambang dinilai akan menghilangkan jejak sejarah yang ada di kawasan tersebut. Beutong Ateuh Banggalang merupakan benteng terakhir Cut Nyak Dhien, sebelum jejaknya tercium kompeni pada 7 November 1905.

Tanah ini juga menjadi saksi pembantaian Tengku Bantaqiah dan puluhan muridnya pada 23 Juli 1999 silam. Selain itu, juga terdapat makam para ulama dan syuhada seperti, Tengku Poe, Kali Alue, Alue Panah, Alue Ilee, Alue Baro, Trieng Beutong, Lhok Pawoh, Diriwat, Di Tungkop, dan Pakeh.

Data yang didapat Liputan6.com dari Walhi Aceh, keberadaan tambang di tempat itu berpotensi mengancam kelangsungan hidup masyarakat di 3 kabupaten, 6 kecamatan, 13 pemukiman, 70 desa atau 49.794 jiwa penduduk Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, dan Aceh Tengah.

"Kegiatan ini sebagai tanda kuat bahwa kami dari kampung siaga bencana menolak dengan keras bahwa dengan adanya tambang PT EMM dapat menyebabkan bencana alam, sosial, dan budaya," kata warga setempat, juga Ketua Kampung Siaga Bencana (KSB) Beutong Lhee Sagoe, M Amin, kepada Liputan6.com.

 

Dukungan dari Elemen Mahasiswa

Aksi Tolak Tambang di Aceh
Warga Beutong Ateuh Banggalang menggelar zikir dan doa bersama, Selasa malam, (9/4/2019). (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Sementara itu, pada hari yang sama, seribuan mahasiswa menyeruduk Kantor Gubernur Aceh di Kotamadya Banda Aceh. Aksi tersebut sempat diwarnai vandalisme, sehingga situasi mengharu biru.

Beberapa mahasiswa terkena pukulan aparat keamanan. Mahasiswa kabarnya bermalam di Taman Ratu Safiatuddin, untuk menggelar aksi lanjutan.

Tuntutannya masih sama, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, diminta menyurati BKPM RI dan membatalkan izin PT EMM. Aksi ini juga bertujuan mengintervensi putusan hakim pada sidang yang digelar di Jakarta.

Ketua Generasi Beutoeng Ateuh Banggalang, Zakaria mengecam insiden pemukulan mahasiswa dalam unjuk rasa, Selasa siang. Aparat keamanan dinilai terlalu berlebihan dan cenderung represif ketimbang persuasif dalam menghadapi massa aksi.

"Kasus ini harus ditangani pihak yang berwajib kenapa bisa terjadi. Dan untuk ke depan supaya tidak terulang lagi. Pasalnya, ada mahasiswa sampai berdarah, karena terkena lemparan batu dari pihak kepolisian," tuding Zack, sapaan akrabnya.

Aksi menolak PT EMM kian bermunculan sebelum sidang putusan Kamis, 11 April besok. Mahasiswa yang tergabung dalam buffer aksi 'Aliansi Mahasiswa Generasi Beutong Ateuh Banggalang (AM-GBAB) menggelar aksi di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Rabu, 10 April kemarin.

Salah seorang peserta aksi yang berhasil diwawancarai Liputan6.com, Selasa malam, Masykur Nyak Di Jurong mengatakan, aksi serupa akan terus dilakukan, sampai PT EMM hengkang dari Aceh.

"Pemerintah selalu berkampanye dengan hadirnya perusahaan di suatu wilayah dapat meningkatkan perekonomian rakyat. Kami tidak melihat dengan hadirnya perusahaan dapat meningkat perekonomian, melainkan hancurnya perekonomian rakyat. Tidak sedikit konflik sosial yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan," katanya.

Sementara itu, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan, dirinya sangat menghargai penyampaian pendapat sebagai hak asasi manusia, tapi menolak pemaksaan kehendak.

"Kita menolak pemaksaan kehendak atau apa pun yang disampaikan dengan cara-cara pemaksaan kehendak," kata Nova. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya