Hari Keanekaragaman Hayati 22 Mei, Perdagangan Satwa Liar Masih Marak

Seiring maraknya penegakan hukum, jumlah akun penjualan satwa liar menurun jadi 28 dan 4 grup. Adapun akun Instagram justru bertambah menjadi 28.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 23 Mei 2019, 01:00 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2019, 01:00 WIB
Seekor bayi macan tutul yang diselundupkan dari Thailand ke India (AFP)
Seekor bayi macan tutul yang diselundupkan dari Thailand ke India (AFP)

Liputan6.com, Bandung - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 22 Mei sebagai hari Hari Keanekaragaman Hayati Dunia atau International Day for Biological Diversity.

Organisasi Protection Forest and Fauna (Profauna) Indonesia, sebagai elemen masyarakat yang gencar melawan perdagangan satwa liar dilindungi menyoroti aksi jual beli satwa dan tanaman yang dilindungi melalui media sosial Facebook.

Koordinator Profauna Indonesia wilayah Jawa Barat, Nadya Andriani mengatakan, penegakan hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi sedang marak.

"Akan tetapi transaksi perdagangan satwa liar tidak pernah surut karena mereka selalu berusaha mencari bentuk baru," kata Nadya di Bandung saat ditemui Senin (20/5/2019) lalu.

Larangan di media sosial Facebook terkait kebijakan perdagangan satwa liar dilindungi perlu diapresiasi. Tapi aturan itu masih longgar karena pemasaran satwa liar dilindungi cukup memungkinkan dilakukan di beranda atau iklan.

"Tidak boleh menjual binatang di marketplace atau grup jual beli. Termasuk postingan tentang adopsi binatang," ujar Nadya menirukan isi aturan tersebut.

Menurutnya, aturan tersebut akan mempermudah pengawasan perdagangan satwa liar dilindungi. Akan tetapi, para pedagang satwa tak pernah kehabisan akal.

"Akun jual beli satwa liar dilindungi di Facebook hingga 2018 mengalami penurunan sekitar 40 persen," kata Nadya.

Pihaknya mencatat, dalam kurun empat tahun terakhir perkembangan akun jual beli satwa mengalami fluktuasi. Pada 2015 misalnya, ditemukan 22 akun aktif dan 7 grup aktif.

Lalu pada 2016, terdapat 31 akun dan 16 grup 31 aktif. Satu tahun kemudian, jumlah akun bertambah menjadi 46 dan 20 grup. Pada tahun yang sama, Profauna juga menemukan penjualan satwa liar yang dilindungi melalui 11 akun media sosial Instagram

Sedangkan 2018 lalu, seiring maraknya penegakan hukum, jumlah akun penjualan satwa liar menurun jadi 28 dan 4 grup. Adapun akun Instagram justru bertambah menjadi 28.

Medsos Jadi Sarana Utama Perdagangan

20151115- Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2015-Jakarta
Peserta menandatangani Spanduk Deklarasi Keanekaragaman Hayati dibentangkan saat aksi jalan santai di kawasan Bundaran HI, Minggu (15/11/2015). Aksi ini untuk merayakan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2015. (Media center AGP-AGN)

Selain melalui grup jual beli, aktivitas perdagangan kemudian bergeser pada penawaran satwa melalui timeline atau status akun pribadi yang di-tag ke sejumlah akun jaringannya. Akun jaringan ini sebenarnya berasal dari grup jual beli yang telah berubah format. Pola penjualan sangat unik, satu individu satwa bisa saja dipasarkan oleh lebih dari satu akun Facebook kepada sejumlah grup jual-beli.

"Media sosial masih menjadi sarana utama dalam perdagangan satwa. Modusnya, barangkali tidak menyertakan kata kunci 'jual' atau 'adopsi' tapi tetap masih bisa dideteksi seperti menggunakan kata nambah dulur, silaturahmi call, dan sebagainya," ujar Nadya.

Berdasarkan pantauan Profauna Jabar, kata dia, satwa yang dijual kebanyakan jenis satwa reptil dan burung predator. Bahkan, pihaknya sempat menemukan permintaan bayi macan tutul.

Nadya juga turut mengkritisi peraturan pemerintah melalui Permen LHK P.106/2018 yang merupakan perubahan dari P.20/2018 dan P.92/2018, yang mengubah status beberapa tanaman yang sebelumnya dilindungi menjadi tidak dilindungi.

"Tanaman pohon sonokeling pun dikeluarkan dari statusnya. Hal itu juga disesali peneliti," ujarnya.

Menurut Nadya, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian fauna Indonesia. Dia menyebutkan, lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lalu, lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak.

Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula harganya.

Adapun satwa liar Indonesia dalam hukum terdiri dari dua jenis yaitu jenis dilindungi dan jenis yang tidak dilindungi.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi adalah tindakan kriminal yang bisa diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta.

"Padahal hasil dari penjualan lebih dari dendanya, sehingga belum membuat penjualnya jera," ujarnya.

Pihaknya berharap, di Hari Keanekaragaman Hayati Dunia ini, masyarakat mau mengenal dan melestarikan satwa liar dan tanaman yang dilindungi. Bukan menjualnya.

"Perdagangan itu bukan solusi, karena yang penting dalam mempertahankan populasi adalah tetap berada di habitatnya," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya