Kisah Brigpol Kresna, Ikut Terjun Berantas Buta Aksara di Perbatasan

Siapa bilang hati polisi sekeras batu? Brigpol Kresna Ola Komek buktinya.

oleh Ola Keda diperbarui 13 Jul 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2019, 04:00 WIB
Brigpol Kresna
Rumah Merah Putih merupakan rumah tempat belajar untuk memerangi buta aksara di perbatasan Ri - Timor Leste. (Liputan6.com/ Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Siapa bilang hati polisi sekeras batu? Brigpol Kresna Ola Komek buktinya, anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Desa Kenebibi, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu, NTT itu kini tengah sibuk memberantas buta aksara bagi warga eks Timor Timur di perbatasan RI-Timor Leste. Aksi inspiratifnya itu bahkan mendapat penghargaan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

"Saya baru selesai terima penghargaan dari Kapolri," katanya kepada Liputan6.com, Kamis (11/7/2019).

Kresna mengatakan, penghargaan yang diterimanya itu berkat kerja sama dengan masyarakat Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu tempatnya dia bertugas.

Penghargaan yang ia terima tersebut adalah penghargaan yang ke-7seteleh sebelumnya pada 2017-2018 sempat mendapatkan 6 penghargaan. Pada 2017 penghargaan diperoleh dari Kepala Desa Kenebibi,

Selain itu juga dari Camat Kakuluk Mesak serta dari Kapolres Belu dan memasuki tahun 2018 juga mendapat penghargaan dari Camat Kakuluk Mesak, Kapolda NTT serta dari Korbinmas Baharkam Polri.

 

Rumah Merah Putih

Brigpol Kresna
Brigpol Kresna Ola Komek mendapat penghargaan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavia atas inovasinya membangun rumah merah putih. (Liputan6.com/ Ola Keda)

Ide membangun komunitas memberantas buta aksara itu juga didukung warga. Kresna bahkan mendapatkan lahan untuk membangun sekolah.  Lewat gagasan Kapolres Belu, Agustus 2018 Rumah Merah Putih akhirnya didirikan untuk Komunitas Buta Aksara di kawasan perbatasan itu.

Idenya untuk mengurangi kasus pencurian di perbatasanpun berhasil. "Lewat pendidikan tersebut, banyak orangtua mulai menasihati anak-anaknya yang suka mencuri agar menghentikan kebiasaan buruk tersebut," katanya

Pada 2015, Kresna ditugasi di wilayah perbatasan. Ia lalu berupaya mempelajari karakter warga setempat. Ia menemukan fakta jika rendahnya kualitas sumber daya manusia berhubungan dengan sikap anak muda yang sulit diatur.

Menyadari hal itu, Kresna terpikir untuk meningkatkan pengetahuan warga sekitar. Bintara lulusan SPN Kupang Polda NTT 2005 itu mulai menghimpun warga sejak Oktober 2016.

"Saya mulai membentuk komunitas sekolah buta aksara di Desa Kenebibi," ujar Kresna.

Dia mengatakan, tujuannya ingin mengajari warga mengenal huruf sehingga bisa membaca dan menulis. Di samping mengajar, Brigpol Kresna menghimbau warga agar menasehati anak-anak mereka agar tidak berbuat kejahatan.

"Intinya warga bisa membaca dan menulis," ujarnya mengenai alasan memilih menjadi pengajar kelas buta aksara.

Awalnya, kelompok ini beranggotakan 60 bapak dan ibu buta aksara. Namun karena terkendala jarak rumah yang berjauhan, kelompok dibagi menjadi dua. Waktu belajar disesuaikan dengan waktu luang warga. Setiap minggu, pertemuan digelar setiap Rabu petang antara pukul 15.00 hingga 16.00 Wita.

 

Perjuangan Tak Pernah Lelah

Mereka belajar dengan kondisi serba kekurangan alat tulis. Peralatan belajar mengajar yang ada, seperti buku dan pensil, disediakan oleh Brigpol Kresna dibantu Kapolsek Kakulukmesak Polres Belu.

Tak hanya soal fasilitas belajar, Kresna juga harus memutar otak agar bisa mengumpulkan warga. Warga seringkali enggan berkumpul kalau tidak mendapatkan apa-apa. Namun dengan berbagai pendekatan, puluhan bapak dan ibu itu akhirnya luluh juga. Namun yang paling menyulitkan adalah kendala bahasa.

Rata-rata warga eks Timtim itu tidak menggunakan bahasa Tetun, tetapi memakai bahasa Tokodede, salah satu bahasa asli masyarakat asal Maubara Timor Leste yang hanya digunakan masyarakat tertentu.

Kendala bahasa itu perlahan bisa diatasi. Para ibu rumah tangga yang tak pernah mengenyam pendidikan perlahan bersemangat mencari ilmu. Para bapak yang putus sekolah saat duduk di bangku kelas III SD juga tak kalah semangatnya.

Untuk menampung warga yang mau belajar, Kresna meminjam halaman rumah Ketua RT 11/RW 03, Laurindu do Santos. Di bawah pohon, masing-masing peserta kelompok belajar membawa kursi sendiri dari rumah untuk belajar. Sementara, Kresna menyiapkan papan tulis dan spidol sebagai alat bantu mengajar.

Setiap akhir pelajaran, masing-masing peserta diberikan tugas menulis huruf dan kata seperti nama hari atau nama bulan dan nama masing-masing peserta. Pada pertemuan berikutnya, tugas tersebut dievaluasi bersama peserta.

Hingga kini, buta aksara di desa tersebut sudah berkurang. Warga yang masuk di komunitas buta aksara rutin diberi bimbingan belajar olehnya di Rumah Merah Putih. Bagi Kresna, satu-satunya cara sederhana untuk membangun Indonesia dari tapal batas adalah meningkatkan SDM warga perbatasan. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya