Liputan6.com, Aceh - Benih Indonesian Farmer generasi 8 (IF-8) pernah mengantar Desa Meunasah Rayeuk, Nisam, Kabupaten Aceh Utara, jadi juara. Namun, gara-gara benih itu pula kepala desa tersebut dijadikan tersangka.
Munirwan diduga memproduksi dan mengedarkan secara komersial benih yang belum disertifikasi dan dilepas varietasnya. Sejumlah pihak bereaksi bahwa penahanan itu dinilai tak berdasar, jika tidak dikatakan telah "membunuh" semangat rakyat kecil dalam berinovasi.
Penahanan Munirwan berawal dari kisah sukesnya membudidayakan benih IF-8 yang membawa desanya jadi juara II nasional inovasi desa serta juara I tingkat Provinsi Aceh bidang Pengelolaan Dana Desa tahun 2017/2018.
Advertisement
IF-8 sejatinya benih padi temuan petani Karanganyar pada 2012 lalu, yang belakangan dibudi daya oleh Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Benih jenis ini mulai diperkenalkan di Aceh pada 2017 dan awalnya dibagi ke sembilan desa di Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara.
Benih-benih itu dibagi dengan skema "bantuan" dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Aceh (LPMA) via pemerintah Aceh. Kondisi persawahan yang memprihatinkan saat itu menjadi dalih uji coba benih yang digadang-gadang dapat tumbuh di ketinggian 100-500 mdpl tersebut.
Tiga ton pertama benih tersebut menjadi awal ketersulihan sistem pembenihan masyarakat petani Desa Meunasah Rayeuk. Rupanya, IF-8 bikin angka produksi padi petani setempat meningkat dari biasanya 7 ton jadi 11 ton.
Melihat hasil panen yang menjanjikan itu, terbesit niat Munirwan mengawinkan program LPMA dengan dana desa. Ia belum lama menjabat sebagai kepala desa, sekaligus baru saja diberi mandat mengurusi AB2TI Aceh Utara kala itu.
Tercetuslah program budi daya benih IF-8 via BUMD Meunasah Rayeuk dengan platform memberdayakan ekonomi masyarakat petani. Petani dapat mengambil benih dengan sistem prabayar atau pascapanen.
Pemanfaatan benih IF-8 bikin kiprah pertanian desa itu kian moncer serta menggeser nama benih padi konvensional di satu sisi. Siapa nyana, IF-8 semakin dilirik oleh desa, bahkan kabupaten tetangga.
Pada tahun 2018, desa itu mengalokasikan dana sebesar Rp174 juta guna mengembangkan budi daya benih IF-8 sebagai produk unggulan serta tiga unit usaha lainnya, yaitu sarana produksi (saprodi), warung serba ada (waserda), dan unit penyewaan traktor via BUMD. Omzet yang didapat saat itu mencapai Rp257 juta.
Benih IF-8 hasil budidaya desa itu telah didistrubiskan ke sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Selain Aceh Utara, Langsa, Aceh Tamiang, Bireuen, Pidie Jaya, Pidie, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Gayo Lues. Dan hasilnya, 'nol' keluhan.
Ditahan Polisi
April tahun lalu, Kecamatan Nisam mendapat kehormatan karena sang presiden akan menghadiri selamatan panen raya perdana yang digelar kecamatan itu. Kendati akhirnya Joko Widodo tak dapat hadir karena bentrokan jadwal.
Dalam perkembangannya, pemakaian benih IF-8 kian digalakkan, namun oleh Dinas Pertanian dan Pangan (Distan) Kabupaten Aceh Utara, benih yang tengah jadi primadona itu dilarang salur dan gunakan dengan dalih belum memiliki sertifikat dan izin.
Larangan itu ditegaskan dalam surat yang ditujukan kepada Koordinator Pengawas Benih Tanaman Pangan (PBT), Kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), dan Mantri Tani di wilayah Aceh Utara tertanggal 19 Juni 2019.
Surat itu menindaklanjuti surat Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh perihal penyaluran benih tanpa label tertanggal 15 Mei 2019.
Eksesnya, sebagian desa batal mengalokasikan dana untuk pengadaan benih, sementara itu, Direktur PT Bumades Nisami—anak usaha BUMD—Munirwan menjadi tersangka sejak 23 Juli.
Pemerintah Aceh via Distanbun dituding berada dibalik pelaporan lulusan Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga itu ke Polda. Namun, Jubir Pemerintah Aceh, Saifullah Abdul Gani (SAG) menampiknya.
"Tidak ada laporan dariKadistanbun Aceh terhadap Munirwan. Dan itu dibenarkan penyidik di depan pengacara. Ini murni penindakan hukum yang dilakukan oleh polisi. Tidak berdasarkan laporan kadistabun, apalagi intruksi atau saran dari Plt. Gubernur Aceh," jawab SAG, kepada Liputan6.com, Kamis sore (25/7/2019).
Advertisement
Permainan Cukong
Di pihak lain, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yakin bahwa Pemerintah Aceh via Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) berada di balik tindakan yang disebut lembaga itu tidak 'waras'.
Menurut Koordinator Badan Pekerja MaTA, Alfian, pemerintah semestinya berperan sebagai regulator untuk memfasilitasi proses sertifikasi benih padi IF-8. Bukan malah melaporkannya.
Alfian menukas adanya motif lain di balik penahanan Munirwan. Pelaporan itu—bisa saja—dalih adanya kepentingan 'cukong' yang tengah dibela pemerintah.
Dalam situs resmi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdapat 48 pengadaan paket pengadaan benih padi di Aceh dengan total anggaran Rp23,3 miliar. Salah satunya pengadaan benih Inbrida lahan kering di Kabupaten Aceh Utara, dengan pagu Rp2,8 miliar dari APBN.
"Saya pikir ada cukong yang dibela dan ini sangat berbahaya. Artinya, kebijakan ini harus dilawan," tegas lelaki yang mengaku menjadi salah satu penjamin penangguhan penahanan tersangka itu kepada Liputan6.com, Kamis sore (25/7/2019).
SAG membantah tukasan Alfian. Fakta bahwa Pemerintah Aceh via Distanbun tidak pernah melaporkan yang bersangkutan ke Polda Aceh menurutnya telah menganulir tudingan tersebut.
"Dan, kita mendukung apa yang dilakukan pengacara, atau keluarga melalui pengacara untuk penangguhan penahanan. Dan Distanbun menyatakan akan melakukan pembinaan lebih lanjut meneruskan pembinaan yang sudah dilakukan selama ini," kata SAG.