Liputan6.com, Jakarta - Prof Eddy Hermawan, Peneliti Ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, sebanyak 115 pulau di Indonesia tak lama lagi bakal hilang. Tak hanya di kawasan pantura dan Jakarta saja yang bakal hilang alias tenggelam, Eddy mencatat ada 115 pulau kecil dan sedang yang juga berpotensi tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Bahkan Eddy mengatakan, Bali menjadi salah satu pulau yang punya potensi besar tenggelam jika tak ada langkah-langkah mitigasi dari sekarang.
Terkait hal itu, I Made Juli Untung Pratama, Direktur WALHI Bali, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (17/9/2021) mengatakan, dirinya tidak membantah temuan itu. Sejak lama WALHI Bali sudah mengingatkan banyak pihak soal adanya potensi kenaikan air laut yang lama-kelamaan membuat Bali tenggelam dan hilang. Selain perubahan iklim, kenaikan muka air laut di wilayah pesisir juga banyak disebabkan oleh pembangunan pariwisata yang tidak ramah lingkungan.
Advertisement
“Pembangunan proyek-proyek yang berada di pesisir ini yang mengancam Pulau Bali sesungguhnya. Kalau dibilang potensi tenggelam, tentunya itu sudah lama kami sadari,” katanya.
Advertisement
Made Juli mengatakan, temuan WALHI mengungkap, abrasi di pesisir Bali sudah terjadi sejak tahun 60an. Sejak landasan pacu Bandara Ngurah Rai dibangun dengan mereklamasi pantai. Berdasarkan pencitraan tahun 1972 hingga saat ini tercatat garis pantai mundur hingga ribuan meter. Ukuran tahun 72 dipakai karena di periode itulah dimulainya revolusi industri yang menjadi awal terjadinya perubahan iklim.
“Pura Cedok Waru itu saksinya, mundur sampai tiga kali karena reklamasi air laut naik. Jadinya pura itu tenggelam lalu dipindah lagi, itu sampai tiga kali,” katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Jangan Tutup Mata
Made Juli juga mengatakan, perubahan iklim secara global memang menjadi salah satu penyebab naiknya muka air laut di banyak tempat. Tapi bukan berarti kita tutup mata terhadap perusakan lingkungan yang juga marak terjadi di negeri sendiri. Pembangunan proyek-proyek pariwisata di pesisir Bali, katanya, suka tidak suka turut menjadi biang keladi yang mempercepat Bali tenggelam. Apalagi melihat ada proyek-proyek tambang pasir, proyek perluasan bandara 153 hektare, dan rencana perluasan pelabuhan seluas 1.000an hektare.
“Kalau dalam hukum tata ruang itu kan seharusnya hukum yang mengatur pariwisata, pada kenyataanya di Bali pariwisata yang mengatur hukum,” katanya.
Made Juli lantas memberi contoh, misal ada investor ingin membangun destinasi wisata tapi di wilayah konservasi. Kenyataannya bukan pariwisatanya yang mengikuti aturan konservasi, tapi hukumnya yang dipermainkan agar wilayah konservasi ini bisa mengakomodir pariwisata.
“Baru-baru ini kan tahun 2019an itu mangrove kita itu mati 17 hektare akibat reklamasi pelabuhan Benoa,” katanya.
Saat ini di Bali, kata made Juli, ada Perda Zonasi Pesisir, namanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Praktiknya sama seperti tata ruang, mana daerah yang boleh di bangun, dan mana daerah yang perlu dilindungi. Tapi pada kenyataannya, perda ini banyak mengakomodir proyek-proyek yang merusak lingkungan hidup, seperti tambang pasir, reklamasi, dan perluasan kawasan pesisir.
“Jika proyek-proyek seperti itu malah diakomodir, maka potensi tenggelamnya Bali akan lebih cepat,” katanya.
Advertisement
Hadapi Perubahan Iklim dengan Sekala dan Niskala
Hal senada juga pernah diungkapkan Hira Jhamtani jauh-jauh hari. Aktivis Third World Network, jaringan organisasi negara ketiga yang terutama aktif di gerakan anti-globalisasi itu bahkan menyebut ,pada 2007 ada 140 titik abrasi dari 450 bentangan garis pantai di Bali, yang menyebabkan air laut naik setinggi 6 meter. Akibatnya pada 2030 diprediksi sebagian Bali akan tenggelam.
”Wilayah yang terancam tenggelam itu memang terutama di bagian pinggir Bali seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua, Tanah Lot, Candi Dasa, Tulamben, Nusa Lembongan, Lovina, dan seterusnya. Namun jika tidak diantisipasi, maka kenaikan air laut itu juga bisa sampai menenggelamkan kota-kota lain yang ada di pinggir pantai termasuk Denpasar dan Singaraja,” katanya, dikutip dari laman Walhi Bali.
Perubahan iklim yang terjadi sejak revolusi industi dan penggunaan energi ekstraktif besar-besaran, juga tak hanya mempercepat Bali tenggelam, tapi juga membawa dampak lain, yaitu terjadinya pemutihan terumbu karang, yang pernah terjadi di perairan Pulau Menjangan dan Taman Nasional Bali Barat. Kerusakan terumbu karang itu terjadi karena kenaikan suhu air laut. Jika terumbu karang sudah rusak, maka ekosistem pantai akan erosi.
Lalu apa yang harus dilakukan sekarang? Selain harus terus mengkritisi kebijakan-beijakan pemerintah yang dinilai pro investor ketimbang pemeliharaan lingkungan, warga Bali juga perlu kembali pada menyikapi perubahan iklim secara sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) melalui penghormatan terhadap alam. Sedangkan secara niskala (alam tak nyata) melalui upacara keagamaan sesuai sasih, tahun, serta situasi alam sesuai wariga (penanggalan), sebagai pedoman membaca perubahan cuaca dan musim.