Pakar UGM Angkat Bicara soal Viral Pemuda Tendang Sesajen di Semeru

Belakangan ini dunia maya digemparkan oleh sebuah video viral di mana seorang relawan di Lumajang yang menendang sesajen ke dalam jurang.

oleh Yanuar H diperbarui 18 Jan 2022, 07:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2022, 07:00 WIB
Sesajen Gunung Semeru
Video berisi seorang pria menendang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru viral di media sosial. (Liputan6.com/ Istimewa)

Liputan6.com, Yogyakarta - Sebuah video yang memperlihatkan seorang menendang sesajen ke dalam jurang di dekat Gunung Semeru berakhir viral. Dosen Filsafat UGM, Sartini turut memberikan pandangannya terhadap kejadian itu.

Dia mengatakan di tengah masyarakat, tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan baik kepada tuhan, dewa, roh leluhur, atau nenek moyang, dan makhluk yang tidak kelihatan. Menurutnya, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Buddha.  

"Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri," kata Sartini, Sabtu, 15 Januari 2022.

Ia mengatakan di Jawa, sesaji sering disebut uborampe atau kelengkapan. Sementara di Lumajang, bila itu sebagai tradisi masyarakat setempat, mungkin saja orang yang memberikan sesajen karena menganggap Semeru sebagai "makhluk" yang memiliki kekuatan dan berharap agar Semeru tidak "murka" lagi. 

"Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini," ujarnya.

Menurut pemahaman Sartini, di Tanah Air, kepercayaan tentang animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini. Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, atau leluhur. 

Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan, atau hewan juga sering dianggap mempunyai roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya.  

"Sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara. Kepercayaan ini mungkin sulit dibedakan dengan pemahaman bahwa ada makhluk tidak kelihatan yang juga hidup bersama manusia, tempatnya bisa di mana saja, gunung, laut, dan lainnya," ujarnya.

Namun demikian, menurutnya, di lingkungan Islam, fenomena sesajen memunculkan banyak tafsir. Pandangan intinya adalah bahwa sesajen yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang. 

Sekalipun, masih ada pandangan yang agak memberi peluang hal dibolehkannya pemberian sesajen. Orang yang membolehkan mungkin berpandangan melakukannya sebagai sekadar tradisi dan niat permohonannya tetap kepada Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah. Alasannya, karena niat permohonannya ditujukan kepada Allah. 

"Masalahnya adalah, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial," katanya.

Mengatasi hal ini, ia menilai keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat  soal sesaji merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup. 

"Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional, dan bahkan materialistik," ujarnya.

Selain itu, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman. 

"Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya," dia memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya