Sertakan Bukti Visum Kasus Dugaan KDRT Lesti Kejora, Berapa Ancaman Pidananya?

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) berbunyi sebagai berikut.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 29 Sep 2022, 20:31 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2022, 20:27 WIB
Cerita Nenek Penipu Cinta dari Jepang, Bunuh 3 Pasangan di Usia Senja hingga Dijatuhi Hukuman Mati
Ilustrasi kejahatan. (dok. niu niu/Unsplash.com)

Liputan6.com, Bandung - Suami Lesti Kejora, Rizky Billar dilaporkan kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sang pelapor Lesti turut menyerahkan hasil visum saat membuat laporan polisi Polres Metro Jakarta Selatan pada Rabu (27/9/2022) malam.

Kasi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi menerangkan, barang bukti yang diserahkan salah satunya hasil visum.

"Buktinya ya visum kita kan pasti visum," kata Nurma, Kamis (29/9/2022).

Nurma enggan membuka hasil visum terhadap Lesti Kejora. Menurut dia, yang berwenang memberikan penjelasan ialah penyidik. Nurma hanya menyebut, Lesti Kejora mengalami luka secara fisik.

"Penyidik yang tahu tapi fisik lah," terang dia.

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) berbunyi sebagai berikut.

“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (Pasal 5 UU KDRT).

Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 UU KDRT).

Febi Ardhianti, penyuluh hukum ahli muda dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menjelaskan, menurut Pasal 26 ayat (1) UU KDRT, menentukan bahwa yang dapat melaporkan ke polisi secara langsung adanya korban KDRT. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).

Adapun ancaman pidana bagi pelaku KDRT yang korbannya tidak menderita sakit yang berat, lanjut Febi, ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).

KDRT Disertai Kekerasan Psikis

Faktor Budaya dan Stigma
Ilustrasi Konflik KDRT Credit: unsplash.com/Christine

Febi juga menjelaskan, apabila KDRT yang dialami melibatkan pula kekerasan psikis atau perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat, ada ancaman pidana yang berbeda.

Pelaku tersebut dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta. Dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (Pasal 45 UU KDRT).

Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya).

Adapun menurut E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal 75 Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Adapun menurut KUHP Pasal 1 angka 14 yaitu, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Selanjutnya menurut Pasal 21 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”

Jadi, berdasarkan uraian pasal tersebut seorang suami dapat ditangkap atau ditahan jika berkas perkaranya dianggap lengkap atau P-21.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya