Liputan6.com, Aceh - Setelah aksi patroli oleh TNI Angkatan Laut untuk mencegah kapal pengangkut imigran Rohingya masuk ke Aceh digelar satu bulan yang lalu, kali ini dikabarkan terjadi penolakan terhadap imigran Rohingya yang mendarat di Bireuen.
Kapal pengangkut puluhan imigran Rohingya sempat berlabuh di Pantai Kuala Pawoen, Desa Pante Sukon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Kamis (16/11/2023). Kedatangan imigran tersebut memasuki gelombang ketiga dalam sepekan ini.
Gelombang pertama tiba pada Selasa (14/11/2023) dengan jumlah 200 imigran di Pantai Kulee, Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Gelombang kedua menyusul keesokan hari, membawa 174 imigran Rohingya di Desa Pasie Meurandeh, Kecamatan Batee, Pidie.
Advertisement
Sebelum menyuruh kembali naik ke atas kapal, awalnya warga ikut menolong para imigran dengan bantuan seperti makanan dan minuman ala kadar. Sebanyak dua ratusan lebih pencari suaka itu dikabarkan mencoba mencari peruntungan di Desa Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, tetapi mereka mengalami nasib yang sama.
Menurut Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, penolakan itu terjadi karena pemerintah Indonesia tidak memiliki mekanisme komprehensif dalam penanganan pengungsi luar negeri di Aceh. Penangangan pengungsi di Aceh malah terkesan diabaikan tanpa supervisi.
Padahal, Pasal 2 Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri telah menyatakan, pemerintah pusat seharusnya bekerja sama dengan lembaga tinggi PBB melalui organisasi internasional yang menangani pengungsi, sebut Azharul.
"Perpres 125/2016 yang mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi ini, tambahnya, memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk akses mencari dan mendapatkan suaka sebagai sebuah bentuk perlindungan," terang Azharul, dalam rilis diterima Liputan6.com, Jumat (16/11/2023).
Di dalam perpres tersebut, tepatnya pasal 17 sampai 18 menegaskan bahwa Basarnas harus segera melakukan pertolongan ketika para pengungsi telah mendarat. Kedua pasal juga turut mengatur bagaimana instansi pemerintah dan masyarakat saling berkoordinasi.
"Tidak ada ketentuan dalam perpres ini tentang adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi masuk ke wilayah Indonesia. Pemerintah Pusat punya tanggung jawab dan peran aktif di sini seharusnya," tegas Azharul.
Menurut Azharul, Pemerintah Indonesia selama ini tampak membiarkan Aceh mencari jalan keluarnya sendiri dalam menangani kedatangan para pencari suaka itu. Hal ini dipandang Azharul "melawan" semangat Perpres 125/2016.
"Penolakan terhadap pengungsi yang sudah sempat mendarat lalu mengembalikan mereka ke perairan, justru melanggar prinsip 'non-refoulement' yang merupakan salah satu kewajiban internasional bagi setiap negara," kata Azharul.
Aceh tak Lagi Muliakan Rohingya?
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan gelombang kedatangan pengungsi Rohingya terjadi disebabkan karena banyak di antara etnis berstatus "stateless" atau tanpa kewarganegaraan itu yang ingin mencari hidup lebih baik.
Sebuah artikel berjudul Dilema Mengelola “Manusia Perahu” Rohingya di situs Fakultas Hukum UI menjelaskan bahwa etnis Rohingya yang terusir dari Myanmar terpaksa menumpang hidup di Bangladesh.
Sebelumnya, situs ensiklopedia Britannica menjelaskan bahwa kata Rohingya adalah istilah yang merujuk pada komunitas muslim yang sebagian besar menempati wilayah bagian Rakhine (Arakan) di Myanmar dan dinyatakan sebagai kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Etnis ini secara berkala terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di Myanmar sejak seperempat abad terakhir. Mereka tersingkirkan sejak menjadi target kekerasan etnis.
Gelombang perpindahan besar-besaran terjadi secara signifikan pada tahun 1978, 1991–92, 2012, 2015, 2016, dan 2017, berdasarkan catatan Britannica. Hingga kini, perahu-perahu pengangkut Rohingya berlayar dari Bangladesh mengarungi lautan, melaga nyawa dengan tujuan negeri asing, menjadi "manusia perahu".
Dikabarkan banyak Rohingya yang meninggal di tengah lautan selama perjalanan berbulan-bulan. Pertaruhan sebagai manusia perahu di lautan terpaksa dilakukan karena Bangladesh tak memberi harapan hidup.
Kemiskinan dan membeludaknya populasi di Bangladesh menyebabkan pengungsi Rohingya tidak bisa diterima sebagai tamu terhormat di kamp-kamp pengungsian di sana, demikian tertulis dalam artikel Dilema Mengelola "Manusia Perahu" Rohingya terbitan situs Fakultas Hukum UI.
Kapal-kapal pengangkut pun melaju perlahan di atas perairan Laut Andaman dan Selat Malaka, tempat tiga negara berkumpul, yakni Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Beberapa tahun ke belakang, Aceh menjadi daerah langganan tempat mana kapal-kapal imigran itu berlabuh.
Seringnya kapal-kapal pengangkut pengungsi ini berlabuh ke perairan Aceh memunculkan dugaan adanya jaringan penyelundupan manusia yang melibatkan aktor di tingkat internasional maupun lokal. Selain itu, para pengungsi banyak yang tidak bertahan lama di penampungan.
Aceh sendiri digadang-gadang sebagai daerah dengan "tangan terbuka" dalam penanganan pengungsi Rohingya. Buku berjudul Aceh Muliakan Rohingya yang diluncurkan Juni 2022 lalu bahkan merekam keramahtamahan orang Aceh terhadap saudara seiman.
Sebuah media pelat merah pada 2009 silam menayangkan berita dengan judul Pengungsi Rohingya Bagaikan di Kampung Sendiri di Aceh. Januari tahun itu jadi titik dari rentetan kedatangan manusia perahu ke Aceh bertahun-tahun kemudian.
Namun, semakin ke sini Aceh diwarnai banyak jejak penolakan. Melihat ini, negara diminta segera meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi demi memperjelas cara penanganan imigran Rohingya yang terus berdatangan ke Serambi Makkah.
"Bagi otoritas di Provinsi Aceh, kita mendorong agar Aceh sebagai daerah keistimewaan bisa mengambil langkah maju dengan menerbitkan qanun terkait penanganan pengungsi," kata Azharul.
Advertisement