Arus Besar Hasutan Kebencian terhadap Pengungsi Rohingya di Aceh

Kebencian terhadap imigran Rohingya terus menggelinding dan membesar. Tulisan ini mengajak kita untuk berpikir ulang soal info yang beredar.

oleh Rino Abonita diperbarui 28 Des 2023, 04:02 WIB
Diterbitkan 13 Des 2023, 15:22 WIB
Pengungsi Rohingya menenteng benda bertuliskan lafaz Allah. Foto diambil di lokasi penampungan di Ladong, Aceh Besar, pada Desember 2022. (Liputan6.com/Rino Abonita)
Pengungsi Rohingya menenteng benda bertuliskan lafaz Allah. Foto diambil di lokasi penampungan di Ladong, Aceh Besar, pada Desember 2022. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Belakangan ini hasutan kebencian terhadap pengungsi Rohingya mengayau berbagai platform media sosial. Fenomena ini muncul seiring intensnya pendaratan pengungsi Rohingya di Serambi Makkah dalam satu bulan terakhir.

Selain dibombardir melalui unggahan netizen, narasi "negatif" terhadap pengungsi Rohingya yang berseliweran di media sosial berkembang biak melalui media massa. Sejumlah media mengutip unggahan mentah-mentah netizen tanpa melakukan verifikasi.

Salah satunya tuduhan bahwa etnis Rohingya meminta tanah. Sebuah video telah disebarluaskan ribuan kali di media sosial oleh netizen untuk memperkuat klaim tersebut.

Salah satu media mainstream bahkan ikut-ikutan meroketkan sebuah berita dengan judul " Heboh Pengungsi Rohingya Ngelunjak Minta Hak Tanah Selayang Malaysia " dengan mengutip video yang sama.

Benar News , sebuah media yang beroperasi secara khusus di Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Bangladesh, tetapi bermarkas di Washington, DC, memuat tentang tujuh belas kelompok Rohingya di Malaysia yang meminta maaf atas video yang mulai di Malaysia viral pada medio 2020 itu.

Mengenai pria di rekaman dalam video tersebut, masih di dalam berita yang sama, mengaku bahwa video tersebut palsu. Pria tersebut mengaku bahwa dirinya berada dalam ketakutan di tengah besarnya ancaman terhadap dirinya dan etnis Rohingya pada umumnya.

Masih dengan isu yang sama, etnis Rohingya juga dituding melakukan aksi meminta hak atas tanah di Malaysia. Faktanya, demonstrasi yang dilakukan pada Rabu, Agustus 2017 di luar kedutaan Myanmar, Kuala Lumpur, itu untuk memprotes kekerasan yang dilakukan junta militer atas etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar barat.

Pemberitaan mengenai ini bisa dilihat melalui channel YouTube Associated Press (AP) dengan judul " Migran Rohingya di Malaysia memprotes kekerasan di Myanmar ". Fakta-fakta ini baru diketahui belakangan setelah sekian banyak unggahan bernada menyudutkan etnis muslim Rohingya tersebar luas. 

Sejumlah media massa di Indonesia telah menyajikan klarifikasi berita terkait berita tersebut. Apa lacur, misinformasi telah tersebar, dilegitimasi oleh massa media sebagai satu-satunya tumpuan informasi.

Terdapat sejumlah tuduhan lain yang dialamatkan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh. Tuduhan-tuduhan ini menjadi dasar dari munculnya pelbagai macam hasutan kebencian terhadap orang-orang juga diklaim sebagai pendatang haram itu.

Sematan yang cukup menonjol adalah tudingan berprilaku tidak baik dan tidak patuh pada norma adat masyarakat setempat. Salah satu bentuk perilaku yang tidak baik adalah mencuri buah kelapa.

Akar tuduhan ini sebenarnya dapat ditelusuri melalui demonstrasi yang dipimpin oleh Beni Murdani pada Desember 2022. Beni saat itu tercatat sebagai Ketua Serikat Mahasiswa Nasional Indonesia (SMNI), kendati pembekuan itu atas nama Aliansi Masyarakat Menggugat. 

Demonstrasi berlangsung di pekarangan kantor yang dulunya digunakan sebagai Kantor Imigrasi, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe. Gedung tersebut digunakan sebagai lokasi penampungan bagi 100 lebih pengungsi Rohingya yang sebelumnya berada di Kantor Camat Muara Batu, Aceh Utara.

Selain Beni, tampak segelintir warga mengusung spanduk. Di antaranya berbunyi “Masyarakat mendesak pengungsi angkat kaki dari Lhokseumawe” dan “Aceh bukan tempat berzina”.

Dalam sebuah foto, spanduk-spanduk tersebut ditenteng oleh sejumlah ibu-ibu yang mengenakan masker yang jumlahnya tak mencapai belasan. 

Gedung eks imigrasi tempat para pengungsi Rohingya itu ditampung bersebelahan dengan beberapa batang pohon kelapa milik warga setempat. Saat itu ada di antara pengungsi yang tergiur memetik buah kelapa yang kebetulan letaknya tergantung tepat di muka balkon lantai dua gedung.

Menurut Beni, pemilik kelapa sudah meminta agar pihak yang menangani pengungsi di kamp itu segera membayar ganti rugi atas kelapanya yang telah dipetik oleh pengungsi. Kerugian atas kelapa ini diganti oleh lembaga kemanusiaan yang menangani pengungsi di kamp tersebut.

Namun, tudingan pencurian buah kelapa ini terus-menerus direproduksi. 

Aksi di halaman gedung bekas kantor imigrasi itu juga menuntut diberlakukannya sekat yang memisahkan antara pengungsi laki-laki dan perempuan di kamp penampungan. Kemungkinan besar, inilah yang menjadi dasar dari kalimat dalam spanduk bahwa "Aceh bukan tempat berzina". 

Kalimat tersebut berpotensi ditafsirkan secara salah. Seakan-akan kalimat "Aceh bukan tempat berzina" lahir karena sebelumnya pernah terjadi perzinahan sesama pengungsi di penampungan. Padahal itu tidak benar. 

Isu kekerasan seksual memang sempat mencuat di kamp penampungan Pidie di mana pelakunya juga merupakan salah satu pengungsi, tetapi sudah ditangani oleh pihak kepolisian. Namun, patutkah dosa atas kasus ini harus ditanggung oleh seluruh pengungsi?

Pada bulan September 2015 silam, santer terdengar tentang dugaan perkosaan terhadap sejumlah pengungsi di penampungan Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Kejadian ini terjadi di kawasan Jalan Line Pipa, yang lokasinya tak jauh dari penampungan-pelakunya diduga orang di luar kamp mengingat terjadi pada saat pengungsi berusaha keluar dari kamp.

Hasutan kebencian terhadap pengungsi Rohingya semakin dipertajam, bergulir menjadi stigma yang berlaku jamak. Sejumlah influenser telah mengambil kesempatan ini sebagai jalan untuk mendulang penonton melalui unggahan video berisi informasi provokatif.

Salah satunya dalam kasus pengungsi yang diduga membuang nasi bungkus ke laut sewaktu pengungsi mencoba mendarat di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Bireuen, November lalu. Pernyataan terkait insiden nasi bungkus ini salah satunya dikutip melalui Kapolsek Jangka Ipda Novizal. 

Sayangnya, tak pernah ada bukti yang dapat mengungkap seperti apa sebenarnya kejadian dalam kejadian tersebut. Berapa nasi bungkus yang dibuang, berapa orang yang membuangnya, dan mengapa tidak terdapat foto atau video yang bisa dipakai sebagai bukti. 

Insiden membuang nasi bungkus ini kembali santer sewaktu pengungsi Rohingya mendarat di Sabang pada Sabtu, 2 Desember 2023. Viral melalui TikTok, media lagi-lagi mengutip ulang unggahan netizen.

Kali ini memang terdapat bukti satu buah nasi bungkus yang terletak dalam kondisi terganga di belakang salah satu tenda. Sepanjang video, sorotan kamera tidak membuktikan adanya nasi bungkus lain yang dibuang selain yang tadi.

Membuang pemberian orang lain tentu saja perilaku yang tidak terpuji. Tetapi tidak adil rasanya menghakimi sebelum menelusuri latar belakang kejadian yang sebenarnya. 

Ikut Jejak Negeri Jiran

Anak-anak imigran Rohingya sedang menggambar. Foto diambil di lokasi penampungan imigran di Lhokseumawe pada Desember 2022. (Liputan6.com/Rino Abonita)
Anak-anak imigran Rohingya sedang menggambar. Foto diambil di lokasi penampungan imigran di Lhokseumawe pada Desember 2022. (Liputan6.com/Rino Abonita)

Sematan “negatif” terhadap pengungsi Rohingya di Aceh juga berjalin kelindan dengan tudingan tidak menghormati adat istiadat setempat yang juga dipertegas oleh Kabid Humas Polda Aceh Kombes, Joko Krisdiyanto dalam siaran persnya. 

Cap tidak menghormati adat istiadat setempat ini terus diulang-ulang kendati tidak pernah terjelaskan dengan detail pelanggaran norma seperti apa yang dimaksud.

Menjadi pertanyaan apakah pelanggaran-pelanggaran adat istiadat tersebut berlangsung selama atau setelah pengungsi berada di dalam kamp. Hal ini patut dipertegas karena persinggungan antara warga setempat dengan pengungsi Rohingya mempunyai intensitas yang berbeda baik di dalam maupun di luar lokasi perlindungan.

Artinya, interaksi antara warga dengan pengungsi dalam banyak hal sangat terbatas karena pengungsi tidak bisa keluar dari kamp sembarangan. Apalagi, lokasi penampungan selalu merupakan tempat yang dikelilingi oleh pagar baik itu telah ada sebelumnya atau didirikan setelah pengungsi dikumpulkan di dalam kamp.

Terkait sematan buruk terhadap pengungsi Rohingya ini, salah satu media bahkan sengaja membuat kompilasi yang menyebutkan sejumlah kelakuan buruk pengungsi Rohingya di Aceh". Media tersebut juga menyampaikan perihal para pengungsi yang tidak menjaga kebersihan selama di lokasi penampungan.

Situs ensiklopedia Britannica menjelaskan bahwa kata Rohingya adalah istilah yang merujuk pada komunitas muslim yang sebagian besar menempati wilayah bagian Rakhine (Arakan) di Myanmar dan mendapuk kelompok ini sebagai minoritas paling teraniaya di dunia.

Sayfurrahman dalam penelitiannya Muslim Kaum Lemah: Studi Kasus Komunitas Muslim Rohingya 1942-2012 (2019) menjelaskan, sebagai minoritas, jumlah populasi etnis Rohingya yang menetap di Bangladesh menurut taksiran PBB mencapai 1,3 juta orang.

Mengutip Abdullah Idi dalam Konflik Etno-Religius di Asia Tenggara, Sayfurrah menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar telah menerapkan diskriminasi terhadap etnis Rohingya yang menurut masyarakat internasional mendapat perlakuan yang bahkan jauh lebih buruk daripada segregasi rasial di Afrika Selatan.

Secara berkala etnis Rohingya mulai meninggalkan tempat mereka di Myanmar sejak seperempat abad terakhir setelah menjadi sasaran kekerasan etnis. Catatan Britannica menyebut bahwa gelombang besar-besaran terjadi secara signifikan pada tahun 1978, 1991–92, 2012, 2015, 2016, dan 2017. 

Melihat catatan-catatan ini, cara pandang yang menempatkan pengungsi Rohingya melalui standar yang sama terkait kebersihan tentu tidak tepat. Perihal kekurangan para pengungsi tersebut, andai pun dikatakan sebagai kebiasaan, maka mesti dipandang sebagai akibat dari keterbatasan akses yang membelenggu mereka dan mendesak mereka jauh dari peradaban selama menjadi sasaran kekerasan etnis di Myanmar.

Jejak hasutan kebencian atau sentimen terhadap etnis Rohingya ini dapat ditelusuri pada tahun 2020 silam. Saat itu, di tengah pengungkapan angka korban virus corona, kebencian dan misinformasi yang ditujukan kepada pengungsi Muslim Rohingya dari Myanmar mulai bermunculan di Facebook, demikian tertulis di Reuters.

Fenomena Xenopobia (takut, waswas) atau perasaan benci terhadap Rohingya ini bahkan diejawantahkan melalui sejumlah halaman Facebook yang muncul dengan nama seperti "Anti Rohingya Club" dan "Foreigners Mar Malaysia's Image". Halaman-halaman ini kelak dihapus.

Pertanyaannya, dengan gelombang anti-Rohingya yang saat ini muncul, apakah kebencian tersebut juga termanifestasi ke dalam platform media sosial seperti yang terjadi di Malaysia? Jawabannya, iya.

Setidaknya terdapat sepuluh akun yang muncul di Instagram dengan mengusung nama seperti Tolak Rohingya di Aceh. Rerata akun-akun ini tidak menunjukkan aktivitas pengunggahan yang signifikan.

Rabu, 29 November 2023, sekelompok mahasiswa mengatasnamakan Pemuda Peduli Aceh melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, dan mendesak imigran Rohingya termasuk UNHCR diusir dari Aceh.

Selain itu, sebuah pamflet berisi ajakan aksi besar-besaran, diumumkan secara digital dalam beberapa hari ke belakang. Aksi penggalangan massa menolak pengungsi Rohingya terdeteksi meletup di tempat lain, seperti di Gayo Lues. 

Pola ini membuktikan bahwa aksi yang sebelumnya terjadi secara daring kini mulai berlaku luring. Seorang pria bahkan terlihat mengacung-acungkan benda menyerupai parang terbungkus, dalam video yang menolak kedatangan pengungsi ke salah satu kamp tempatan di Aceh Besar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa gelombang kebencian tersebut dapat berpotensi lebih jauh. Seorang ibu-ibu di Sabang, secara fisik mulai berani menarik lengan seorang imigran perempuan ketika warga berusaha mendepak imigran Rohingya dari Sabang.

Seorang sosiolog dalam wawancara sebuah media mengatakan bahwa fenomena penolakan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh ini merupakan akumulasi yang disebutnya “pengalaman tidak menyenangkan” dari interaksi antara masyarakat Aceh dengan imigran Rohingya.

Ini menunjukkan bahwa sekaliber akademisi pun meroketkan analisis yang ikut-ikutan arus massa alih-alih menggunakan kacamata kritis dalam membaca situasi. Fakta ini mengharuskan media massa harus bekerja lebih keras dalam mengonter pelbagai narasi negatif yang sudah terlanjur dilahap publik berkaitan dengan pengungsi Rohingya karena dampaknya yang meluas dan berangasan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya