Liputan6.com, Yogyakarta - Nahdliyin Nusantara akan menggelar musyawarah besar di Kampoeng Mataraman Bantul, Minggu (28/1/2024). Kegiatan ini menyongsong Konbes dan Harlah NU ke-101 di Yogyakarta pada 28 sampai 31 Januari 2024.
“Keadaan jamiah (Jemaah) secara struktural dipandang terlarut dalam aktivitas politik praktis, maka kami Nahdliyin Nusantara melakukan refleksi,” ujar TGH. Hasan Bashri Marwah, coordinator acara.
Menurut Hasan Bashri, refleksi lewat musyawarah besar ini didasarkan pada sejumlah hal. Pertama, khittah NU. Berita-berita dan dari video-video yang beredar di tengah warga NU banyak sekali Pengurus Harian NU dan banom-banomnya yang terlibat dalam aktivitas dukung mendukung calon presiden dan wakil presiden tertentu secara terbuka, sungguh sangat meresahkan para Nahdliyin, karena penggunaan jemaah untuk kepentingan politik praktis.
Advertisement
Baca Juga
Kedua, dasar nilai-nilai keulamaan, yang berpijak pada ahlussunah wal jama'ah an-nahdliyyah, menegaskankan arti pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga memberikan pengertian nilai-nilai ulama yang berpijak pada ahlusunnah waljamaah adalah nilai-nilai yang berpijak pada keilmuan, kejujuran, keteladanan, kerahmatan, dan penggayoman (riayatul ummah).
Ketiga, dasar-dasar politik ahlussunah wal jama'ah an-nahdliyyah bukan untuk mencari kemenangan-kemenangan kekuasaan, tetapi untuk menegakkan nilai-nilai moral di dalam pengelolaan kekuasaan, keadilan, dan berdemokrasi yang bersih dari suap menyuap.
Keempat, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan Muktamar NU tahun 1999 dan 2002 tentang nasbul imam dan demokrasi dan tentang money politic, bahwa mengangkat imam itu wajib yang harus disertai dengan penciptaan masyarakat demokratis, sementara money politic adalah haram dan bentuk pengkhianatan, karena money politic itu lidaf`il haqq litahshilil bathil.
Kelima, hubungan di dalam jemaah itu didasarkan pada AD ART, sehingga setiap jenjang kepemimpinan di dalam jemaah adalah ranah kebijakan Jemaah yang juga perlu ditakar melalui ukuran-ukuran AD ART.
“Ketaatan Pengurus Jamiah adalah puncaknya adab dalam berjamaah, dan tawashau bil haq dalam berjamaah adalah bagian dari implementasi berjamiah yang ada AD ART-nya,” ucapnya.
Keenam, dalam persoalan Pemilihan Umum (PEMILU) yang merupakan bagian dari pelaksanaan demokrasi, PBNU harus mengambil sikap netral dan mengedepankan langkah-langkah politik kebangsaan yang mandiri dan mencerminkan karakter politik berbasis ASWAJA.
Rais Aam dan jajaran syuriah PBNU memiliki hak mutlak menegur dan memberhentikan pengurus PBNU yang terlibat langsung dengan praktik politik praktis dalam PEMILU, memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga NU menyalurkan hak-hak politiknya dalam setiap PEMILU dan tidak mengarahkan secara vulgar dan murahan agar pengurus NU dari PBNU sampai MWC memilih salah satu pasangan calon capres dan cawapres.