Bukan Karena Nyi Roro Kidul Mantu, Begini Keterangan Gus Muwafiq Soal di Bulan Suro Dilarang Berpesta

Banyak yang salah mengartikan mengenai pelarangan mengadakan pesta di Bulan Asyura atau Suro. Salah-salah beberapa orang menyikapinya dengan kemusyrikan. Ternyata, bulan ini mengisahkan momen belasungkawa pada pembantaian tokoh Islam terdahulu.

oleh Ardi Munthe diperbarui 26 Jun 2024, 07:00 WIB
Diterbitkan 26 Jun 2024, 07:00 WIB
Gus Muwafiq. Foto: (Istimewa).
Gus Muwafiq. Foto: (Istimewa).

Liputan6.com, Lampung - Bulan Suro atau Asyura banyak dikeramati oleh masyarakat utamanya suku Jawa, yang kerap dikaitkan dengan tradisi sakral dan mistis. 

Banyak larangan yang masih dipercaya hingga sekarang, salah satunya tidak boleh mantu alias menikahkan anak. Karena kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, pada bulan Suro Nyi Roro Kidul sedang melakukan pesta pernikahan.

Namun, ada penjelasan yang logis dari Penceramah kondang, KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq.

Gus Muwafiq mengatakan, orang Jawa memang punya banyak larangan saat bulan Suro. Mereka tidak berani mantu, senang-senang, bahkan sampai pindah rumah.

"Ini orang yang kadang salah paham. Orang yang paling percaya dengan barang-barang yang bikin orang musyrik. Buktinya apa, masak pas bulan Asyura (Suro) enggak berani menikah. Malah orang Jawa mempercayai kalau Nyi Roro Kidul mantu," ucap Gus Muwafiq dalam ceramahnya lewat tayangan video.

Padahal, kata Gus Muwafiq menuturkan, yang terjadi di bulan Suro sebenarnya terkait dengan awal kisah Nabi Muhammad SAW hijrah. Ketika itu, Islam pertama kali turun di Makkah, lanjut ke Madinah. Lalu menantu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali, mengajaknya ke Basrah. Mereka pergi bersama dengan Sayyidina Hasan dan Husein, putranya.

Basrah (Persia) pada masa itu adalah Negara yang belum dimasuki Islam. Orang-orang di sana masih menyembah api. Karena Sayyidina Ali sosok orang cerdas dan lembut, dia pun disegani oleh orang Persia.

Sampai Raja Persia, Rustum, mencari tahu sosok Sayyidina Ali. Setelah tahu kebaikannya, Raja Rustum yang beragama Majusi berkunjung ke rumah, bertujuan melamar putra Sayyidina Ali. Akhirnya, putra Sayyidina Ali menikah dengan putri dari Raja Rustum, sampai mendapat banyak keturunan.

Di situlah, Raja Rustum mantap menjadi mualaf. Dia tak lagi menyembah api, tetapi percaya adanya kuasa Allah SWT. Muncul pula masjid-masjid untuk beribadah di Persia.

Tapi bersamaan dengan itu, terjadi konflik di Madinah antara Bani Hasyim dengan Bani Umaiyah. Sayyidina Usman, ayah Sayyidina Ali wafat terbunuh. Mendengar kabar itu, dia pulang ke Madinah.

Tapi konflik pun lanjut, sampai membuat Sayyidina Ali dibunuh oleh Abdurrahman Bin Muljam. Sayyidina Hasan dan Husein yang berada di Basrah pun pulang ke Madinah.

Kekuasaan saat itu ada di tangan Muawiyah, lalu konflik masih berlanjut. Sayyidina Hasan wafat karena keracunan di Madinah.

Sayyidina Husein pun merasa situasi semakin tidak terkendali. Lantas dia menyerahkan Madinah pada Yazid bin Muawiyah. Lalu dia kembali ke Basrah bersama keluarga besarnya tanpa membawa pasukan perang. Sayyidina Hussein juga berharap perdamaian terjadi saat itu.

Di tengah perjalanannya, tepatnya di Karbala, pada tanggal 9 Asyuro (9 Muharam), Yazid yang sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia mengirim pasukan perang untuk membunuh Sayyidina Husein beserta seluruh keluarga dan anak cucunya.

Pada tanggal 10 Asyuro pasukan Yazid berhasil melakukan pembantaian terhadap cucu-cucu Rasulullah SAW. Seluruh umat Islam pun berduka, karena pembantaian sadis itu.

Sejak itulah, orang Islam di seluruh dunia, bahkan masyarakat Jawa menjadikan bulan Suro sebagai Bulan Duka atau Bulan Belasungkawa. Jadi tidak ada kaitannya dengan Nyi Roro Kidul mengadakan pesta pernikahan atau mantu.

"Itulah mengapa banyak orang Jawa tidak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Bukan karena Nyi Roro Kidul sedang melaksanakan pesta pernikahan, tapi karena sedang berada di bulan berduka," kata Gus Muwafiq. Wallahu a'lam bishawab. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya