Pendidikan dengan Empati: Shahnaz Haque Sampaikan Tips Parenting untuk Anak Indonesia

Shahnaz Haque, selebritas sekaligus ibu dari tiga anak, menyampaikan harapannya terhadap kebijakan pendidikan di bawah pemerintahan yang baru.

oleh Ruly Riantrisnanto Diperbarui 10 Mar 2025, 21:15 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2025, 10:20 WIB
Shahnaz Haque
Shahnaz Haque. (Dok. IST/Pribadi)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pendidikan bukan hanya soal mengajarkan anak membaca, menulis, atau berhitung. Lebih dari itu, pendidikan juga berperan penting dalam mengasah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan empati pada anak. Dalam upaya membentuk pribadi anak yang seimbang, peran orang tua sangatlah krusial.

Hal tersebut disampaikan oleh Shahnaz Haque, selebritas sekaligus ibu dari tiga anak, saat berbincang dalam podcast Bincang Inspiratif yang diadakan oleh brand ini.

Dalam kesempatan tersebut, Shahnaz menyampaikan harapannya terhadap kebijakan pendidikan di bawah pemerintahan yang baru.

“Kurikulum bisa berubah, namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membuat anak-anak Indonesia berpikir lebih luas, tidak hanya berpikir dengan dua variabel. Mereka harus diajak untuk berpikir bercabang agar mencintai pengetahuan. Tidak ada anak Indonesia yang tidak suka pengetahuan, betapapun sulitnya,” ujar Shahnaz.

 

Promosi 1

Belajar Lewat Empat Lingkaran Pembelajaran

Bayu Oktara dan Shahnaz Haque
Bayu Oktara dan Shahnaz Haque berbincang dalam acara Bincang Inspiratif Tanoto Foundation (Dok. Tanoto Foundation)... Selengkapnya

Shahnaz memperkenalkan konsep pembelajaran empat lingkaran atau yang dikenal dengan istilah quadruple loop learning process. Proses ini dimulai dengan single loop, di mana anak berlatih menyelesaikan masalah yang ada. Kemudian berlanjut ke double loop, yang mendorong anak untuk belajar dari kegagalan dan tantangan.

Selanjutnya, pada tahap triple loop, anak mulai berlatih membuat perencanaan yang matang dan merumuskan solusi alternatif yang lebih efektif. Akhirnya, pada tahap quadruple loop, anak tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Shahnaz, mengajak anak untuk berpikir kritis bisa dimulai dengan membiasakan mereka untuk bertanya dan menelusuri hal-hal yang membuat mereka penasaran.

“Anak-anak harus diberi ruang untuk bertanya, tanpa dibatasi oleh jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’, atau ‘benar’ dan ‘salah’. Kalau mereka cerewet dan banyak bertanya, artinya cara berpikirnya hidup. Orang tua seharusnya melayani rasa penasaran mereka sejauh mungkin,” jelas Shahnaz.

Ia menambahkan bahwa banyak orang tua yang kerap menjawab pertanyaan anak-anak secara singkat. Padahal, pertanyaan-pertanyaan itu adalah tanda bahwa mereka sedang berlatih berpikir kritis.

 

Menulis Tangan dan Taksonomi Bloom

Di era digital saat ini, Shahnaz juga menyoroti pentingnya kemampuan motorik tangan yang mulai terabaikan. Menurutnya, anak-anak yang terlalu bergantung pada perangkat digital cenderung lebih aktif menggunakan jempol, sementara keterampilan menulis tangan berkurang.

“Anak-anak perlu kembali menulis tangan karena itu membantu mereka memahami apa yang mereka pelajari, bukan sekadar menghafal,” katanya.

Hal ini berkaitan dengan teori Taxonomy of Bloom, yang mengklasifikasikan enam level berpikir, yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan.

Shahnaz menilai bahwa selama ini banyak anak hanya diarahkan untuk menghafal tanpa benar-benar memahami atau mengevaluasi informasi yang mereka pelajari. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya mendorong anak-anak untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi agar mereka mampu berinovasi dan menghadapi tantangan di masa depan.

 

Peran Guru dan Orang Tua dalam Pendidikan

Dalam podcast tersebut, Bayu Oktara yang menjadi pemandu acara menanyakan bagaimana guru bisa menciptakan suasana belajar yang menarik.

Menanggapi hal ini, Shahnaz menegaskan bahwa guru bukan hanya bertugas mengajar, tetapi juga berperan penting dalam mendidik siswa secara emosional dan sosial. Menurutnya, keluarga dan lingkungan sekitar juga berperan besar dalam mendidik anak, sesuai konsep Tri Sentra Pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.

“Semua orang bisa menjadi guru, dan setiap tempat bisa menjadi sekolah. Ketika kita mengajar, kita juga belajar dari siswa,” ujar Shahnaz.

Ia menambahkan bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung. Mereka tidak hanya meniru perkataan orang tua, tetapi juga perilaku yang mereka lihat sehari-hari.

“Kalau kita ingin anak-anak tumbuh dengan karakter yang baik, kita sebagai orang tua harus memberi contoh yang baik juga,” tambahnya.

 

Melatih Intuisi dan Insting Melalui Tantangan

Selain membahas pentingnya keseimbangan antara otak kiri (logika) dan otak kanan (kreativitas), Shahnaz juga menyoroti peran otak tengah yang berhubungan dengan intuisi dan insting.

Ia menilai bahwa anak-anak bisa dilatih untuk mengembangkan insting mereka melalui pengalaman menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka sendiri. Konsep ini ia sebut sebagai Power of Kepepet.

“Jangan selalu melindungi anak dari setiap masalah yang mereka hadapi,” katanya. “Biarkan mereka belajar dari kesalahan agar bisa tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab,” imbuh Shahnaz.

 

Mempersiapkan Generasi Alpha dengan Cinta dan Empati

Shahnaz juga menyoroti tantangan yang dihadapi generasi Alpha di tengah perkembangan teknologi yang pesat. Menurutnya, meskipun teknologi bisa meningkatkan kecerdasan, hal tersebut tidak bisa menggantikan nilai-nilai kemanusiaan.

“Manusia bisa bersaing dalam kecerdasan dengan teknologi, tetapi teknologi tidak bisa menjadi manusia,” jelasnya.

Shahnaz berpesan kepada orang tua untuk tidak terlalu khawatir jika anak-anak mereka menunjukkan kecenderungan ekstrovert atau introvert.

“Biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri,” ujarnya. Yang terpenting, menurut Shahnaz, adalah memastikan anak-anak tumbuh dengan emosi yang stabil agar mampu menghadapi tantangan hidup di masa depan.

 

Pendidikan Berbasis Cinta

Pada akhirnya, Shahnaz menekankan bahwa cinta adalah kunci utama dalam mendidik anak-anak. Menurutnya, cinta akan membantu orang tua memahami kebutuhan dan potensi anak, sehingga mereka dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya.

“Anak pintar memang mudah diarahkan, tetapi anak jenius justru membutuhkan tantangan lebih agar terus berkembang. Tantangan itu yang akan membuat mereka selalu ingin tahu dan mencintai pengetahuan,” tutup Shahnaz.

Pendidikan yang berfokus pada empati, kasih sayang, dan pemahaman yang mendalam diyakini mampu melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan mampu berinteraksi secara manusiawi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya