Kowani Nilai Pemerintah Perlu Harmonisasi Teknis Hukuman Kebiri Kimia

Ada penolakan hukuman kebiri kimia karena melanggar kode etik serta sumpah dokter sebagai profesi yang menyembuhkan dan merehabilitasi, bukan menyakiti.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Agu 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2019, 00:00 WIB
Ilustrasi Suntik
Ilustrasi Suntik

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dinilai perlu melakukan harmonisasi terkait teknis hukuman kebiri kimia bagi pelaku pelecehan seksual pada anak.

"Pemerintah seharusnya melakukan harmoninasi terkait teknis hukuman kebiri kimia ini, karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutornya," ujar Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019, seperti melansir Antara.

Penolakan hukuman kebiri kimia tersebut dilakukan karena melanggar kode etik serta sumpah dokter sebagai profesi yang menyembuhkan dan merehabilitasi, bukan menyakiti.

Giwo menuturkan, yang ditolak oleh ikatan dokter itu adalah jika posisi dokter sebagai eksekutor bukan menolak pemberatan hukumannya, sebab kalau dokter melanggar kode etik maka akan berakibat fatal yakni pencabutan izin dokter.

Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan harmonisasi terkait siapa yang mengeksekusi hukuman tersebut. Kebiri kimia, dia menuturkan, adalah bentuk pemberatan hukuman bagi pedofil sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2016.

Selain kebiri kimia, pelaku pedofil juga dikenakan pemberatan hukuman sepertiga tuntutan pidana. Giwo menambahkan, yang disebut dalam Perppu adalah kebiri kimia, yakni dilakukan pengurangan kadar testosteron dalam tubuh dengan mengkonsumsi obat-obatan tertentu secara berkala. Dengan cara itu dorongan hasrat seksual akan berkurang. Perppu tidak mengatur kebiri bedah, yang mana libido dimatikan secara permanen.

"Kalau bicara setimpal , tentunya sudah dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan sehingga keluar Perppu tersebut , dan pelaku pedofilia. Kejadiannya tidak hanya mempunyai dampak pada korban pada saat itu saja, tetapi mempunyai dampak ganda dan bahkan mempunyai dampak jangka panjang bagi korbannya," kata Giwo.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kejari Masih Cari RS untuk Eksekusi Hukuman Pelaku Pencabulan Anak di Mojokerto

Ilustrasi lorong rumah sakit
Ilustrasi lorong rumah sakit (iStock)

Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto masih mencari rumah sakit yang bisa melaksanakan hukuman kebiri kimia. Hal ini terkait hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan pada Muhammad Aris (20), warga Dusun Mengelo, pelaku pencabulan sembilan anak.

Kepala Kejaksanaan Negeri Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Rudi Hartono menuturkan, pihaknya sudah meminta untuk segera dieksekusi dengan mencari dokternya terlebih dahulu.

Rudi menambahkan, pihaknya sudah sempat berkoordinasi dengan dua rumah sakit di Mojokerto. "Kami masih mencari rumah sakit yang bisa melaksanakan hukuman kebiri kimia. Karena RSUD Soekandar dan RA Basuni di Mojokerto belum pernah melakukan itu. Jadi saat ini kami masih koordinasi terus untuk melaksanakan eksekusi hukuman kebiri kimia ini," kata Rudi pada Fuad reporter Radio Maja Mojokerto, seperti melansir suarasurabaya.net.

Muhammad Aris divonis hukuman penjara 12 tahun ditambah sanksi kebiri kimia karena menjadi pelaku pencabulan 9 anak di Mojokerto. Kebiri kimia ini dilakukan dengan memberi suntikan kimia. 

Dalam kasus ini, Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan.

Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PT Surabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY pada 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap, lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya