Jaga Prinsip Kesetaraan, Pasal Penghinaan Presiden Diminta Dihilangkan

Menurutnya, RUU KUHP yang masih mengandung pasal-pasal bermasalah legalitas sejenis ini sebaiknya dihilangkan sama sekali terlebih dahulu.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2021, 10:52 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2021, 07:17 WIB
Ilustrasi UU ITE
Ilustrasi UU ITE. Kredit: Arek Socha via Pixabay

Liputan6.com, Surabaya - Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Peduli Bangsa Nusantara (DPP PBN) Rahmat Bastian meminta agar pasal tentang penghinaan presiden dalam RUU KUHP dihilangkan demi prinsip kesetaraan kedudukan di muka hukum.

"Agar setiap pejabat publik lain seperti Ketua MPR, Ketua DPD, Panglima TNI dan Jaksa Agung tidak meminta keistimewaan khusus terlindungi seperti halnya pasal penghinaan presiden," ujarnya, Kamis (10/6/2021).

Lagipula, sambungnya, Presiden adalah jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat.

"Lantas kenapa rakyatnya sendiri jadi tidak bebas mengkritik seorang mandataris jabatan Presiden, karena nanti takut dianggap menghina?" katanya.

Menurutnya, RUU KUHP yang masih mengandung pasal-pasal bermasalah legalitas sejenis ini sebaiknya dihilangkan sama sekali terlebih dahulu. Sebab menurutnya, masih banyak pasal-pasal lain dalam KUHP yang lebih mendesak untuk dimasukkan sebagai revisi.

Di antaranya, pasal bela paksa, turut pelaku, perlindungan saksi, pemalsuan tanda tangan, keterangan palsu, rahasia jabatan, daluarsa, penadah, dan lain sebagainya yang jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kata Yasonna

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly menegaskan bahwa pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam draf RKUHP dengan yang ditiadakan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan dua hal berbeda.

Menurut Yasonna hadirnya pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP merupakan jawaban atas kondisi masyarakat yang dianggapnya terlalu bebas untuk melontarkan hinaan terhadap pemimpin negara.

"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan. Tadi dikatakan, kalau di Thailand malah lebih parah, jangan coba-coba menghina raja itu urusannya berat. Bahkan di Jepang sendiri atau beberapa negara hal yang lumrah," kata Yasonna di hadapan anggota Komisi III DPR RI dalam Rapat Kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya