Liputan6.com, Jakarta - Putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan yang diajukan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dinilai sudah tepat. Pasalnya, sudah sesuai dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dekan Fakultas Hukum Dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Aan Eko Widiarto menjelaskan dalam Pasal 87 huruf B Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwasanya kewenangan dari PTUN saat ini mencakup soal keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya
"Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) mengalami perluasan makna dan tidak sempit dalam lingkungan lembaga eksekutif saja,"ujar Aan dalam keterangannya, Senin (15/5).
Advertisement
Sehingga kata Aan keputusan -keputusan yang dibuat di lembaga-lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bisa diadili di PTUN.
"Asalkan bukan bersifat produk legislasi," tandasnya.
Dengan adanya aturan itu, Aan menegaskan bahwa PTUN Jakarta sangat berwenang dalam mengadili gugatan yang diajukan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fadel Muhammad dalam kaitannya pemecatan dirinya sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur DPD dalam Sidang Paripurna ke-2 DPD RI pada Agustus 2022.
Terkait kekhawatiran beberapa pihak bahwa putusan PTUN bisa membatalkan putusan legislatif dalam kaitannya pembuatan undang-undang, Aan menegaskan bahwa PTUN tidak bisa mencampuri putusan terkait kewenangan legislatif dalam membuat legislasi atau undang-undang.
"Tapi bila sidang paripurna hasilnya adalahkeputusan (bersifat administratif) bisa diadili di PTUN," jelasnya.
Dia menjelaskan hakikat dari legislatif adalah kolektif kolegial. Sedangkan hasilnya bisa bersifat peraturan dan keputusan.
"Bila paripurna DPD produknya peraturan, PTUN tidak bisa mengadili, tapi bila produknya keputusan, (PTUN) berwenang mengadili," jelasnya.
Dia menjelaskan ciri-ciri dari produk "keputusan" adalah bersifat individual, kongkrit dan final seperti mengangkat atau memberhentikan seseorang. Sedangkan produk peraturan bersifat abstrak.
Aan menjelaskan PTUN berperan dalam menilai apakah keluarnya putusan dalam sidang paripurna DPD sudah sesuai dengan prosedur atau tidak. Dia menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Nomor 17 tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menyatakan bahwa Pimpinan MPR hanya bisa diganti karena tiga hal, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.
Klausul "diberhentikan" terjadi apabila ada dua terpenuhi yakni diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD, dan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR. "Dalam kasus ini (Fadel) tidak memenuhi semua unsur itu, tapi tiba-tiba diberhentikan," tukas dia.
Melihat keanehan di atas, Aan bertanya masa PTUN tidak boleh mengadili peristiwa atau keanehan ini. Jadi kata dia, keadilan harus tetap hadir dengan cara chek and balance dari kekuasaan yang lain dalam hal ini PTUN. "Bila ada pihak lain yang tidak terima bisa banding dan kasasi," saran dia.
Selain itu, Aan mengingatkan jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang berpikiran karena sudah menjadi keputusan rapat paripurna DPD akhirnya bersifat mutlak dan mengikat sehingga tidak bisa dilakukan chek dan balance. "Itu pemikiran yang salah," kata dia.
Salinan Putusan
Diketahui dalam salinan putusan Nomor 398/05/2022/PTUN.JKT tertanggal 3 Mei 2023 yang ditandatangani panitera Muhammad SH, PTUN Jakarta menolak pemecatan Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD RI digantikan oleh Anggota DPD RI Tamsil Linrung.
Dalam putusan ini, DPD selaku tergugat juga wajib mencabut surat keputusan tersebut. Dengan demikian, Fadel Muhammad tetap menjadi Wakil Ketua MPR dari unsur DPD.
"Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 413.000," demikian bunyi putusan tersebut.
Advertisement