Wakil Ketua MPR: Negara Harus Jamin Eksistensi dan Lindungi Hak Masyarakat Adat

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menyatakan, negara harus bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat dengan menjamin eksistensi dan melindungi mereka, sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Agu 2023, 21:58 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2023, 21:50 WIB
MPR
Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyatakan, negara harus bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat dengan menjamin eksistensi dan melindungi mereka, sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Menurutnya, masyarakat adat kerap dipandang sebagai obyek karena kepemilikan atas lahan yang dapat dihargai dengan uang.

"Perlindungan pada hak hidup mereka kerap diabaikan," katanya, pada diskusi daring ' Keberadaan Masyarakat Adat dalam Negara Indonesia, Sampai Dimana?' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (9/8/2023).

Akibatnya, ujar Lestari, masyarakat adat selalu menghadapi konflik agraria, masalah pengakuan oleh negara dan perlindungan atas ragam pelanggaran atas hak-hak dasar mereka.

Hingga saat ini, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, pengakuan pada masyarakat adat masih berbasis individual. Padahal, tegasnya, yang perlu menjadi catatan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat mesti dilakukan secara menyeluruh baik komunal maupun individual.

Karena, ujar Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, masyarakat adat merupakan satu kesatuan entitas dengan kearifan lokal yang melekat.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat, minimnya pemahaman aparatur dan pengabaian berkelanjutan atas kultur masyarakat adat sama saja dengan membangun pola pembiaran pada keberlangsungan hidup komunitas adat.

Rerie berharap peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional setiap 9 Agustus menjadi refleksi sekaligus 'peringatan' bagi negara untuk segera menghadirkan sebuah produk undang-undang perlindungan yang saat ini masih dalam tahapan legislasi dan merupakan amanah konstitusi.

 

 

 

Konvensi ILO 169

Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Hilmar Farid mengungkapkan terminologi masyarakat adat dalam konvensi ILO 169 ada dua yaitu indegenous people (penduduk asli) dan tribal people (orang suku).

Hilmar memperkirakan, bila RUU MHA kembali dibahas sejumlah pihak akan mempermasalahkan terminologi indegenous yang merupakan orang asli, sebelum datang yang lain. Namun, jelas dia, masyarakat adat di Indonesia merupakan orang asli di wilayah terkait.

Selain itu, ujar Hilmar, ada banyak pengertian yang berbeda dalam sistem hukum dan birokrasi di Indonesia terkait masyarakat adat. Sehingga dalam pembahasan lanjutan RUU MHA, jelas Hilmar, harus dipertimbangkan latar belakang permasalahan tersebut.

Menurut Hilmar, saat ini banyak undang-undang yang menempatkan masyarakat adat sebagai obyek, sehingga selalu saja dalam pelaksanaan undang-undang yang ada masyarakat adat menjadi korban.

Kehadiran UU MHA kelak, tambah Hilmar, sejatinya bertujuan menempatkan masyarakat adat sebagai subyek dalam proses pembangunan.

Diakui Hilmar, saat ini sudah ada 65 kabupaten di Indonesia memiliki aturan yang melindungi masyarakat adat di wilayahnya.

INFOGRAFIS: Deretan Prestasi Mendunia Artis Korea (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Prestasi Mendunia Artis Korea (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya