Aturan Interkoneksi dan Network Sharing Harus Batal Demi Hukum

Polemik soal penurunan interkoneksi dan network sharing masih bergulir.

oleh Muhammad Sufyan Abdurrahman diperbarui 30 Agu 2016, 11:21 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2016, 11:21 WIB
BTS
BTS (wikimedia.org)

Liputan6.com, Bandung - Polemik soal penurunan interkoneksi dan network sharing masih bergulir. Menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto, surat rancangan penurunan tarif terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

"Penetapan tarif interkoneksi seharusnya didasarkan Pasal 22 dan 23 PP tersebut. Pasal 22 menyebutkan, 'Kesepakatan interkoneksi antar-penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.' Artinya, tarif interkoneksi harusnya merupakan kesepakatan seluruh operator," ujar Wisnu saat bincang santai bersama Tekno Liputan6.com di Bandung.

Namun kali ini, terkait rencana penurunan tarif dari Rp 285 per menit menjadi Rp 204 per menit, tidak melalui semua operator namun tiba-tiba sudah tinggal menunggu tandatangan Presiden Jokowi setelah Menkominfo Rudiantara mengajukannya.

Wisnu menambahkan, pada pasal 23 ayat (1) dijelaskan, "Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi." 
​Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto (kiri) dan Bidang Hubungan Antara Lembaga Sekar Telkom Dasrizal (kanan) di Bandung, Minggu (28/8/2016). (Liputan6.com/ Muhammad Sufyan Abdurrahman)
Kemudian dilanjutkan di ayat (2) bahwa “Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil."

Menurut Wisnu, sebagian operator seluler tidak sepakat dengan hasil penetapan Kemkominfo karena perhitungannya tidak transparan, merugikan, dan tidak adil.

"Jadi, karena terindikasi melanggar, surat edaran ini potensial dilakukan gugatan ke PTUN, atau bila nantinya dikeluarkan melalui Peraturan Menteri maka bisa diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung,” ujar mantan Ketua Umum Sekar Telkom ini.

Ia menambahkan, hal lain yang harus batal demi hukum adalah prosesnya yang terkesan terburu-buru sehingga azas kepatutan penandatangan diabaikan. Saat ini, Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) belum ada tanggapan dan seharusnya tidak layak seorang PLT Dirjen PPI menandatanganinya.

"Isi surat juga membingungkan, karena seorang pejabat negara harusnya paham kebijakan yang dikeluarkannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku," lanjut Wisnu.

Di sisi lain, Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana menambahkan, Kebijakan Revisi PP 52 dan 53 yang berisi network sharing dan spectrum sharing juga harus batal demi hukum.

Alasannya, prosesnya tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, yaitu UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasalnya, tidak terpenuhinya hak masyarakat memberikan masukan (baik lisan maupun tulisan) dalam proses pembentukan kedua Rancangan Revisi PP tersebut.

Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Karenanya, pembentukan kedua rancangan Revisi Peraturan Pemerintah tersebut tidak baik.

"Kami menyatakan menolak kebijakan biaya interkoneksi, dan revisi Peraturan Pemerintah PP 52/53 tentang network sharing dan spectrum sharing karena ini semua terkesan dipaksakan. Padahal jelas melanggar rasa keadilan, merusak tatanan industri telekomunikasi, dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku di atasnya," pungkasnya.

(Msu/Isk)

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya