Mesin Sensor Pornografi Diklaim Tak Akan Curi Data Pengguna

Mesin sensor konten pornografi yang tengah disiapkan Kemkominfo pada awal 2018 diklaim tak akan mengusik privasi pengguna.

oleh Jeko I. R. diperbarui 05 Des 2017, 16:21 WIB
Diterbitkan 05 Des 2017, 16:21 WIB
Algoritma
Peresmian akademi Algoritma di Block71, Jakarta, Selasa (5/12/2017). Liputan6.com/Jeko I.R

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengungkap mesin sensor konten pornografi yang tengah disiapkan pada awal 2018 nanti tak akan mengusik privasi pengguna, apalagi mencuri datanya.

Sebelumnya, beredar rumor soal mesin tersebut akan mengusung sistem Deep Packet Inspection (DPI). Sistem ini konon akan diterapkan ke router untuk 'memantau' aliran data secara langsung.

Sistem DPI ini juga menggunakan metode 'surveillance' seperti yang ada di Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Akan tetapi sekali lagi, Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan bahwa hal itu tidak benar.

"Crawling itu mesin biasa yang mencari data, lain dengan surveillance. Nah, yang browsing ini mesin, kalo surveillance kan 'mendengarkan' apa yang terjadi. Kalau crawling ya mencari, jadi harus dibedakan. (Pemblokiran) kami kan punya dua jalur, satu dari masyarakat yang melaporkan dan yang satunya mesin," kata pria yang akrab disapa Semmy ini kepada Tekno Liputan6.com usai peresmian akademi Algoritma di Block71, Jakarta, Selasa (5/12/2017).

Sekadar informasi, mesin sensor crawling yang digunakan Kemkominfo bukanlah sebuah sistem baru.

"Mulanya kan orang-orang yang mencari konten negatif. Crawling ini satu metode yang lumrah dan sudah dilakukan. Misalnya perusahaan-perusahaan konsultan yang melakukan crawling untuk membaca konten-konten di internet," lanjutnya menuturkan.

Dengan menggunakan crawling, kata Semmy, saat timnya menemukan konten-konten negatif yang bertentangan dengan undang-undang, daftar temuan konten itu akan masuk ke tim analisis. Tujuannya untuk memastikan konten-konten yang ditemukan termasuk konten negatif.

"Setelah itu, nanti ada tim lagi yang memverifikasi. Kalau sudah dianalisis dan diverifikasi akan langsung masuk ke daftar DNS kami. Ini nanti yang dikirim ke operator agar memasukkan daftar DNS --yang harus diblokir-- agar tidak bisa lagi diakses," ujarnya.

Semmy mengatakan, dalam menjalankan tugasnya, mesin crawling akan menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence untuk membantu menyaring konten-konten negatif.

"Kalau manusia kan harus aktif melihat satu per satu, jumlahnya banyak apalagi konten pornografi, makanya dibantu juga oleh mesin," tandas Semmy.

 

Mesin Crawling Dianggap Mahal

Mesin sensor tersebut diungkap memiliki nilai tender lebih dari Rp 194 miliar, sedangkan Kemkominfo sendiri mengklaim akan mengendalikan mesin secara langsung. Dalam hal ini, lembaga Internet Development (ID) Institute menganggap nilai mesin sensor internet itu terlalu tinggi.

Seperti disampaikan praktisi ID Institute M Salahuddien, jika memang Kemkominfo bersedia untuk mengendalikan mesin tersebut, seharusnya nilainya tak harus sampai miliaran. Menurutnya, justifikasi yang dilakukan Kemkominfo sangat lemah.

Salahuddien juga menilai, tak sepantasnya mesin ini dibandingkan dengan mesin penyaring konten besutan Google karena nilainya sama-sama tinggi.

"Ya tentu saja enggak adil kalau dibandingkan dengan (punya) Google misalkan, karena kita tahu Google kan gratis. Ya tapi kurang lebih kalaupun itu ada harganya, tentunya enggak segitu nilainya," ujar Salahuddien kepada Tekno Liputan6.com beberapa waktu lalu.

Dilanjutkan Salahuddien, menurutnya, nilai mesin sensor internet bisa lebih terjangkau jika mesinnya dibesut oleh pihak ketiga.

"Sekarang begini, kalau kita menggunakan mesin Crawler sendiri, misalnya kita menggunakan layanan pihak ketiga ya itu langganannya juga enggak mahal. Ya ordernya enggak sampai ratusan juta. Itu kita bisa berlangganan," terangnya menjelaskan.

"Kita hitung saja layanan (penyaringan konten) yang lazim itu berapa harganya. Jadi, silakan dihitung sendiri, enggak sampai ratusan juta kok (dengan pihak ketiga) tanpa harus membangun infrastruktur sendiri," tukas Salahuddien.

Karena itu, Salahuddien berharap mesin penyaringan konten negatif baiknya dibesut oleh pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk transparansi penekanan biaya dan akuntabilitas.

(Jek/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya