Liputan6.com, Jakarta - Pada awal tahun ini, transportasi online sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat.
Pertumbuhan layanan ini tentu menguntungkan karena memudahkan mereka untuk bepergian.
Baca Juga
Samsung Galaxy S25, S25 Plus, dan S25 Ultra Lolos TKDN, Siap Rilis di Indonesia Sebelum iPhone 16?
Ruben Amorim Tertekan dan Pekerjaannya Terancam, Mantan Pemain Bersedia Latih Manchester United
Perbedaan Mencolok Kondisi Jalan Perbatasan Indonesia dan Malaysia Viral, Warganet Singgung PPN 12 Persen
Sayangnya, layanan tersebut hadir bukan tanpa cela. Sebab, beberapa oknum melakukan perbuatan tak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Advertisement
Contoh dari penipuan (fraud) yang lazim dilakukan adalah order fiktif atau dikenal dengan ‘Opik’. Hal ini dilakukan demi mendapat bonus dari perusahaan transportasi. Ada pula fraud yang dikenal sebagai ‘Fake GPS’ untuk mencurangi lokasi di Global Positioning System (GPS).
Fenomena fraud di industri ride-hailing belum lama ini ini ditunjukkan secara lebih jelas melalui riset yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan firma riset Spire Research and Consulting.
Kedua lembaga tersebut melakukan riset untuk melihat seberapa banyak fenomena opik tersebut terjadi di antara para driver.
516 Mitra Pengemudi
Tahun lalu, misalnya, INDEF melakukan riset terhadap penipuan online ini lebih lanjut kepada 516 mitra pengemudi dari dua perusahaan transportasi online terbesar, yaitu Grab dan Go-Jek.
Survei mengenai order fiktif transportasi online dilakukan pada 16 April-16 Mei 2018 di Jakarta, Bogor, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta.
Metode survei yang digunakan adalah non-probability atau convenient sampling. Riset yang dilakukan INDEF menunjukkan bahwa 42 persen mitra pengemudi percaya bahwa Go-Jek adalah platform dimana order fiktif paling banyak terjadi. Sementara 28 persen mitra pengemudi mengatakan bahwa di Grab order fiktif lebih banyak terjadi.
Hasil survei juga menunjukkan hampir setengah dari mitra pengemudi Go-Jek (46 persen) mengatakan bahwa perusahaan tidak mengetahui atau mengetahui tapi membiarkan praktek tindakan curang. Sementara angka ketidakpercayaan untuk Grab berkisar 30 persen dari mitra pengemudi yang menyatakan hal serupa.
Baru-baru ini hasil riset tersebut diperkuat dengan temuan dari Lembaga riset Spire. Dalam melakukan riset, Spire melakukan survei terhadap 40 pengemudi dan 280 konsumen secara acak dalam skala nasional.
Hasil survei memprediksikan sebanyak 30 persen dari order yang diterima Go-Jek terindikasi fraud. Angka itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraud Grab yang diperkirakan hanya 5 persen.
Angka tersebut berdasarkan estimasi jumlah order fraud dibandingkan jumlah total order yang diterima.
Menurut Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consulting, hasil riset perusahaannya dapat menjadi gambaran bagaimana tindakan fraud sudah menjadi sesuatu yang cukup umum.
“Perkiraan ini masuk akal karena kami juga melakukan survei terhadap para pengemudi transportasi online. Di 2018, dari para pengemudi Go-Jek sendiri yang kami survei, 60 persen di antaranya mengaku pernah melakukan fraud untuk meningkatkan jumlah order mereka yang akan berpengaruh pada bonus dan pendapatan harian yang mereka terima,” ungkapnya.
Advertisement
Tantangan Industri
Menanggapi hasil riset tersebut, Tri Sukma Anreianno, Head of Public Affairs Grab Indonesia mengatakan penipuan seperti ini merupakan tantangan industri yang tidak bisa dihindari.
“Semua pihak dirugikan dengan adanya fraud ini. Saat ini kepercayaan masyarakat kepada industri ride hailing dipertaruhkan pada bagaimana perusahaan meningkatkan fitur keamanan yang andal dan inovatif di dalam sistemnya,” ujarnya.
Sebagai inisiatif untuk memerangi opik ini, Grab terus memperkuat program “Grab Lawan Opik” dengan kepolisian.
Dalam program tersebut, Grab telah berhasil menangkap sindikat dan mitra pengemudi yang telah terbukti melakukan kecurangan di beberapa kota, seperti Jakarta, Makassar, Semarang, Surabaya, dan Medan. Dengan beragam usaha yang telah dilakukan, tindakan fraud di Grab bisa ditekan di bawah 1 persen hingga akhir 2018 lalu.
"Kami telah berhasil menurunkan tingkat kecurangan secara signifkan dari paltform kami di Indonesia pada semester terakhir 2018 hingga di bawah 1 persen. Kami terus melakukan penyemurnaan agar segala bentuk kecurangan terhadap sistem dapat dieliminasi," papar Tri.
Selain itu Grab sudah menerapkan fitur 'Anti-Tuyul'. Fitur yang diluncurkan pada akhir tahun lalu itu memungkinkan Grab memblokir mitra pengemudi yang memiliki aplikasi fake GPS atau yang lebih dikenal 'Tuyul'.
Untuk mendapatkan kembali akses terhadap akunnya, mitra pengemudi harus menghapus seluruh apliksi fake GPS yang dimilikinya. Sementara untuk layanan GrabCar, ada pula fitur 'driver selfie authentication'.
Melalui fitur ini, mitra pengemudi diwajibkan mengambil dan mengunggah swafoto dirinya sebelum memulai atau meneruskan perjalanan. Cara ini dilakukan untuk memastikan hanya pengemudi terverifikasi yang memakai akun tersebut.
(Jek/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: