Tak Perlu Ada Pembatasan Luas Maksimal Lahan dalam RUU Pertanahan

Penguasaan lahan oleh pengembang tidak selamanya. Nantinya pengembang akan menyerahkan 40% tanah ke pemerintah dan 60% dijual ke masyarakat.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 06 Mei 2014, 12:35 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2014, 12:35 WIB
Perumahan 2
(Foto: Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Tujuan dibahasnya RUU Pertanahan tersebut untuk mengatasi permasalahan pertanahan yang semakin kompleks.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy memberikan apresiasi dengan adanya pembahasan RUU tersebut. Menurutnya, dengan adanya RUU Pertanahan, diharapkan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan iklim investasi di Indonesia.

"Seharusnya produk hukum yang akan dihasilkan mampu menciptakan pertumbuhan iklim investasi yang kondusif sekaligus menjadi solusi komprehensif terhadap berbagai persoalan tanah di Indonesia, " kata dia, Jakarta, Selasa (6/5/2014).

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Komisi II dalam menggodok RUU Pertanahan. Salah satunya adalah pembatasan luas maksimal lahan untuk kawasan perumahan.

Menurutnya, pembatasan luasan tanah merupakan sesuatu yang tidak perlu. Hal ini dikarenakan penguasaan akan tanah tidak dimaksudkan untuk dimiliki selama-lamanya oleh pengembang. Akan tetapi, kata dia, untuk dijual atau dialihkan kembali kepada masyarakat.

"Penguasaan lahan oleh pengembang tidak selamanya. Nantinya 40% diserahkan ke pemerintah dan 60% dijual," ujar dia.

Dengan prinsip 40:60 tersebut, pemahaman tentang penguasaan tanah dalam jangka waktu yang lama sebenarnya tidak akan terjadi.

Sementara, Wakil Ketua Umum DPP REI Bidang Hukum dan Perundang-Undangan mengkritisi beberapa pasal dalam RUU Pertanahan tersebut.

Menurutnya, adanya ketentuan batas waktu hak atas tanah akan sangat berpengaruh bagi dunia usaha dan investor.

Jika tidak memungkinkan diberikan hak guna bangunan (HGB) sekaligus 50 tahun dan diperpanjang lagi 20 tahun, maka perlu ada ketentuan yang mengatur tata cara perpanjangan dan pembaharuan yang mudah. Hal itu ditujukan untuk menjamin kepastian hukum bagi dunia usaha dan investor.

Ia mencontohkan seperti mencantumkan rumusan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 1996 yang memungkinkan diajukannya permohonan perpanjangan dan pembaharuan hak pada saat pertama kali mengajukan permohonan dengan memenuhi persyaratan tertentu.

"RUU Pertanahan juga perlu mengatur adanya kriteria yang jelas dan proporsional atas sebutan tanah terlantar uang menjadi objek reforma agraria. Sehingga hal itu tak menimbulkan keresahan dan peluang bagi para pihak yang memanfaatkan ketidakjelasan tersebut," pungkas dia. (amd/gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya