Pembangunan PLTU Batang Molor, Negara Merugi Rp 9 Triliun

Pembangunan PLTU Batang dengan kapasitas 2x1.000 megawatt (MW) disepakati menggunakan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS).

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 02 Jun 2014, 18:16 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2014, 18:16 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengamati maket PLTU Labuhan Angin, Sumut dan PLTU Labuhan, usai meresmikan kedua PLTU itu di Banten.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Kerugian negara akibat tertundanya pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah, diperkirakan mencapai Rp 9 triliun per tahun.

Pengamat Pembangunan Nasional Syahrial Loetan menjelaskan, berdasarkan perhitungannya, kerugian negara tersebut berasal dari tiga komponen. Pertama, dari kontribusi batubara yang ditargetkan sebanyak 70% pada tahun 2017, berkurang menjadi 67%.

Kedua, potensi kerugian juga terjadi akibat penundaan pelaksanaan proyek PLTU Batang karena adanya eskalasi harga pada bahan konstruksi dan harga tanah. Eskalasi harga diperkirakan mencapai 10%, sehingga secara total bisa mencapai angka Rp 4,5 triliun.

Lalu ketiga, kerugian juga terjadi sebagai dampak multiplier effects akibat tidak terserapnya tenaga kerja sebanyak 3.000 orang sejak tahap konstruksi hingga proyek selesai. Tenggat waktu pembangunannya diperkirakan selama 4 tahun.

"Saya yakin, pemerintahan baru yang akan terpilih nantinya, mampu menyelesaikan dan menuntaskan permasalahan pembangunan PLTU Batang tersebut bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebab, proyek infrastruktur ini bakal menjadi sumber tenaga listrik bagi 30% kebutuhan listrik di Jawa-Bali pada 2016 mendatang,” papar Syahrial di Jakarta, Senin (2/6/2014).

Ia melanjutkan, pembangunan PLTU Batang dengan kapasitas 2x1.000 megawatt (MW) disepakati menggunakan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau skema Public Private Partnership (PPP).

Itu sebab, pembangunannya merupakan proyek percontohan pembangunan infrastruktur dengan skema KPS atau PPP yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67  Tahun 2010.

Menurut dia, penandatanganan konsesi telah dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2011 dan direncanakan dapat melakukan financial closing pada Oktober 2012. Namun, hingga kini perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) antara PT  PLN (Persero) dengan pihak pengembang listrik swasta PT Bhimasena Power Indonesia, telah diperpanjang 2 kali.

“Upaya perpanjangan PPA yang kedua itu dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perpres 66/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,” jelas Syahrial. (Yas/Gdn)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya