Liputan6.com, Jakarta Setelah sempat menguat dipicu surplus neraca perdagangan pada Juli, nilai tukar rupiah kembali bergerak melemah. Ketidakpastian arah kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam masa transisi ke pemerintahan baru ini membuat rupiah melemah 0,16 persen pada perdagangan hari ini.
Data valuta asing Bloomberg, Selasa (2/9/2014) menunjukkan rupiah sempat melemah cukup signifikan ke level 11.735 per dolar AS pada perdagangan pukul 8:43 waktu Jakarta. Sejak awal sesi, rupiah terus berfluktuasi melemah dan bergerak di kisaran 11.713 - 11.742 per dolar AS.
Sementara Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI) menunjukkan rupiah mengalami koreksi 24 poin ke level 11.734 per dolar AS.
Advertisement
Ekonom Bank Saudara Rully Nova menjelaskan, para pelaku pasar masih fokus menanti arah kebijakan subsidi BBM di Tanah Air. Para pelaku pasar masih menanti apakah pemerintah berani untuk menaikkan harga BBM subsidi atau akan membiarkan subsidi BBM terus membengkak.
"Sentimen yang mempengaruhi rupiah masih dari internal. Sekitar 80 persen dana APBN kini mengalir untuk belanja rutin dan subsidi energi. Nah kepastian kebijakan subsidi BBM sangat dinanti para pelaku pasar karena ini bagian dari sistem pemerintahan yang dibutuhkan untuk menghindari risiko-risko ekonomi yang mungkin terjadi," terangnya saat dihubungi Liputan6.com.
Dia menjelaskan, para pelaku pasar ingin melihat sejauh mana ruang fiskal pemerintah dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi domestik ke depan. Terutama saat ini para pelaku pasar dihadapkan dengan suku bunga yang terbilang ketat.
Selain itu, data ekonomi Amerika Serikat yang cerah juga berhasil menguatkan nilai tukar dolar. Tentu saja, penguatan tersebut menekan rupiah dan beberapa mata uang lain di Asia.
Dengan asumsi sudah ada kepastian arah kebijakan BBM dari pemerintah, rupiah diprediksi dapat kembali ke kisaran 11.600 per dolar AS.
"Jika tidak begitu, rupiah masih akan bertengger di kisaran 11.700-an per dolar AS mengingat ekonomi masih stabil dan pemerintah masih menjalani kebijakan moneter ketat dengan suku bunga tinggi," pungkasnya. (Sis/Ndw)