Liputan6.com, Jakarta - Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah telah berhasil mendaftarkan 13.466 pulau ke kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York. Angka itu sekitar 77 persen dari total jumlah pulau yang ada di Indonesia sebanyak 17.504 pulau.
Lalu bagaimana dengan nasib 4.038 pulau yang belum didaftarkan di PBB?
Kepada Liputan.com, Dirjen Kepulauan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Sudirman Saad menjelaskan saat ini tim yang diketuai Kementerian Dalam Negeri masih terus berupaya untuk mendaftarkan ribuan pulau itu ke PBB.
Advertisement
"Lagipula yang tersisa tidak banyak provinsi lagi antara lain Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Kalau di Indonesia barat itu relatif sudah selesai semua. Ini ada beberapa bagian di Indonesia Timur yang belum selesai dan sedang dirampungkan," kata Sudirman seperti ditulis Senin (22/9/2014).
Surdiman menuturkan, pihaknya tidak menunggu sampai seluruh pulau selesai karena pemerintah ingin mengamankan dulu pagar-pagar terluar Indonesia di kantor PBB demi menutup celah adanya intervensi atau akuisisi secara sepihak pulau-pulau kecil oleh asing.
Tak hanya itu, pemerintah juga menugaskan TNI untuk menjaga kedaulatan RI di pulau kecil terluar. "Ada peraturan pemerintah (PP), di situ diatur untuk pulau-pulau kecil terluar yang prioritas utamanya adalah menjaga kedaulatan," tutur dia.
Namun, lanjut Sudirman, apabila di pulau-pulau kecil terluar itu ada potensi ekonomi yang bisa dimanfaatkan, maka boleh dikembangkan tapi tetap harus di-backup dengan pertahanan dan keamanan.
Contohnya di Pulau Nipa, sebuah pulau kecil terluar Indonesia yang berbatasan dengan Singapura. Pulau itu memiliki nilai ekonomi, tapi tidak boleh mengabaikan suatu kedaulatan maka pulau itu diregistrasi di kantor pertanahan sebagai aset Badan Pertahanan Nasional (BPN) dan aset Kementerian Pertahanan.
"Makanya yang pertama harus dibangun adalah barak-barak militer, bahkan fasilitas mereka ada air bersih semua disiapkan sehingga yang terjun duluan di situ adalah militer kita. Lalu infrastruktur dan investornya baru masuk," ungkap Sudirman.
Tapi untuk pulau kecil yang di dalam, lanjut dia, kebijakannya menjadi kewenangan bupati/walikota setempat. Dia menyebutkan, pulau itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tiga kategori. Pertama, pulau yang dikuasai masyarakat adat. Pulau ini dipriontiaskan dipakai masyarakat adat sendiri dalam rangka merawat kebudayaan, tradisi dan lingkungan.
Lalu ada pulau yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan ini bisa dimanfaatkan dengan berbagai skema investasi. Tentu saja yang diharapkan investasinya berasal dari pengusaha lokal. Jika diberikan ke mereka tidak ada yang berminat, pemerintah daerah boleh mengundang investor asing.
"Namun, kalau investor asing masuk maka harus tunduk pada kebijakan yang lebih spesifik soal Kebijakan pemanfaatan pulau-pulau terkecil melalui skema penanam modal asing. Untuk itu, kewenangan bupati ditarik ke menteri karena ada investor asingnya," papar dia. (Ndw)