Pemerintah Tak Perlu Menghadap DPR untuk Urusan Kuota BBM

Pemerintah ngotot tidak ingin menemui DPR untuk mengajukan tambahan kuota BBM bersubsidi

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 07 Des 2014, 21:01 WIB
Diterbitkan 07 Des 2014, 21:01 WIB
BBM Bersubsidi Langka, Warga Antre di SPBU
SPBU di kawasan Radio Dalam, Jakarta, memasang papan informasi bertuliskan “Kuota Premium Subsidi Hari Ini Habis, Tersedia Pertamax”, Jakarta, Senin (25/8/14). (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menyatakan pemerintah bisa saja tidak menghadap DPR untuk membahas kuota BBM subsidi asal cukup hingga akhir tahun.

"Kalau cukup tidak usah menghadap DPR," kata Kardaya, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Minggu (7/12/2014).

Menurutnya, jika pemerintah tidak mengajukan tambahan kuota BBM bersubsidi ke DPR, hal tersebut menandakan kuota BBM cukup hingga akhir tahun.

"Terserah saja kalau tidak menghadap DPR ntidak apa-apa. Artinya kuota BBM cukup," tutur Kardaya.

Namun jika kuota BBM subsidi tidak cukup sampai akhir tahun, pemerintah harus mengajukan tambahan kuota BBM bersubsidi ke DPR. Pasalnya, kouta BBM subsidi tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"kalau tidak cukup kuota dalam Undang-Undang ada suatu yang mengatur masalah anggaran termasuk belanja segala macam," ungkapnya.

Ia menambahkan, jika hal tersebut tidak dilakukan, maka pemerintah bisa dinyatakan telah melanggar Undang-Undang, meski penambahan kuota BBM bersubsidi hanya sedikit.

"Undang-Undang tidak boleh dilanggar, tapi kalau dilewati harus menghadap DPR, yang namanya melanggar Undang-Undang itu tidak ada namanya sedikit banyak," tegasnya.

Sebelumnya, Pemerintah ngotot tidak ingin menemui DPR untuk mengajukan tambahan kuota BBM subsidi meski konsumsi terlampaui.

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, pemerintah memerintahkan Pertamina tetap akan menyalurkan BBM bersubsidi sampai akhir tahun.

Ia pun membantah melanggar Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) jika tetap menyalurkan BBM bersubsidi meski kuota BBM bersubsidi yang telah ditetapkan dalam APBN-Perubahan 2014 sebesar 46 juta Kilo liter (Kl) terlampaui. Pasalnya, pihak pemerintah tidak meminta tambahan kuota ke DPR.

"Melanggar UU kalau kami minta kuota lagi kan, kuotanya kan tidak ditambah, yang dilanggar apa? kan kami tidak minta kuota lagi," tutupnya.

Jangan Privatisasi Pertamina

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan tidak mengambil langkah drastis dalam pengelolaan Pertamina, seperti melakukan privatisasi.

Apalagi, dia menilai penunjukkan Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama PT Pertamina, sebagai sosok yang tidak tepat. Penilaian itu berdasarkan dari rekam jejak Dwi.

"Dwi merupakan sosok yang sangat berpengalaman di dalam melakukan privatisasi PT Semen Indonesia, hingga perusahaan ini, dikuasai 49 persen sahamnya oleh swasta dan sebagian besar (oleh) asing. Ini peringatan dari kami untuk kesekian kali. Cara-cara seperti ini, sangat membahayakan BUMN kita. Sekarang bisa melalui utang luar negeri dan pasar keuangan," jelas dia.

Salamuddin menegaskan, privatisasi atau divestasi tidak sejalan dengan visi Kabinet Kerja Jokowi-JK. Apalagi, rencana dan minat privatisasi, disampaikan secara gamblang oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, sesaat setelah pengangkatan Dwi.

"Rini Soemarno memerintahkan Pertamina, untuk melakukan listing terhadap utang-utang Pertamina dengan menerbitkan obligasi rupiah, agar tercatat di pasar modal," pungkasnya.(Pew/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya