Jurus Menteri Marwan Kembangkan Transmigrasi di Perbatasan

Menteri Marwan Jafar tengah memprioritaskan program transmigrasi di wilayah-wilayah perbatasan negara.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 17 Mar 2015, 19:02 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2015, 19:02 WIB
Menteri Marwan.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar.

Liputan6.com, Jakarta Beragam upaya dilakukan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar untuk segera memprioritaskan transmigrasi di wilayah-wilayah perbatasan negara.

Rencananya, akan dikembangkan lahan perkebunan dengan pola seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sehingga, kawasan perbatasan yang tak berpenghuni akan terbentuk kota-kota baru.

"Tidak sekedar membuka kawasan perkampungan untuk menjadi pemukiman baru, atau juga menjaga lingkungan. Tetapi yang paling penting adalah kesejahteraan, keamanan dan pembangunan perbatasan sebagai satu kesatuan beranda Indonesia," ujar Menteri Marwan di Jakarta, Selasa (17/3/2015).

Dengan pola perkebunan PIR itu, kata Menteri Marwan, pemerintah akan membuka wilayah lahan baru bagi transmigrasi. Yang nantinya akan bekerja sama dengan perusahaan sektor perkebunan untuk berinvestasi. Pola kerja sama ini, akan diawasi oleh pemerintah sehingga menjadi berkelanjutan.

Agar sukses pelaksanaannya, Marwan mengungkapkan, akan bersinergi lintas kementerian. Misalnya dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup terkait perizinan alih fungsi hutan.

Juga Kementerian Pertanian, untuk teknis pemanfaatkan lahan transmigrasi menjadi kawasan berbudidaya tanaman. Serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Program kerja sama perkebunan rakyat itu, menurut Marwan Jafar, bisa dilakukan antara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dibentuk masyarakat dengan investor perkebunan.

"BUMDes dan investor bisa bersinergi membangun infrastruktur, pendidikan, dan sarana lainnya," ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Menurut Marwan, sebenarnya pola PIR itu sudah lama diterapkan di Indonesia. Namun lebih cenderung kurang diprioritaskan di perbatasan negara dan masih kurang pengawasan oleh pemerintah.

"Sehingga pelaksanaannya belum diminati oleh masyarakat dan investor," tutur dia.

"Nantinya, para transmigran tidak sekedar mendapatkan lahan untuk berkebun atau mengembangkan pertanian di tanahnya sendiri. Tetapi juga bekerja di perusahaan perkebunan. Cara ini akan membuka peluang besar terbukanya lapangan kerja," tambah Marwan.

Tujuan dari pola kerja sama tersebut, menurut pria kelahiran Pati, Jawa Tengah ini, tidak hanya fokus kepada sektor perkebunan kelapa sawit, juga akan memobilisasi komoditas atau keunggulan hasil produksi perkebunan lainnya yang disesuaikan dengan potensi tanah dan lahan. "Sehingga, ada pendapatan tambahan bagi masyarakat di kawasan transmigrasi," jelas dia.

Jika lapangan pekerjaan sektor perkebunan maju, lanjut dia, maka dipastikan akan banyak masyarakat lainnya yang berminat menjadi transmigran. "Di satu sisi masyarakat sejahtera, investasi baik, dan NKRI kian kokoh," ungkapnya.

"Kan enak. Rumah dan lahan pertanian sudah siap diolah dan ditempati. Kemudian ada lapangan pekerjaan. Dan secara nasionalisme, perbatasan Indonesia menjadi daerah makmur dan tidak lagi diremehkan asing," tegas dia.

Tidak hanya kawasan transmigrasi baru saja yang akan mendapat prioritas pengembangan perkebunan. Daerah tertinggal juga akan mendapat pemberlakuan yang sama.

"Karena di wilayah itu sudah ada masyarakatnya, dan pemerintah hanya mengembangkan dan menggali potensi kawasannya," tandas Marwan. (Tnt/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya