Liputan6.com, Jakarta - Protes mengenai aturan baru pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan selama 10 tahun ternyata tak hanya dilayangkan oleh masyarakat umum. Seorang menteri pun juga menyesalkan kakunya aturan tersebut. Aturan ini dianggap menyulitkan masyarakat peserta JHT ketika menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menyalahkan kurangnya fleksibilitas Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tepatnya Pasal 37 Ayat 1-5 maka ketentuan program jaminan hari tua berlaku untuk masa kepesertaan 10 tahun atau saat usia peserta memasuki 56 tahun.
UU SJSN maupun BPJS disusun dan disahkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menuding, pemerintah sebelumnya dan DPR tidak memperhatikan masalah yang timbul akibat peraturan JHT ini.
"Ini bukan salah Menteri Ketenagakerjaan, masalahnya UU tidak fleksibel. Waktu membuat UU, DPR dan pemerintah tidak memikirkan kondisi ini. JHT memang diambil waktu tua, tapi selama ini JHT bisa dicairkan dalam kurun tidak terlalu lama sehingga menimbulkan complain," ujar Sofyan di kantornya, Jakarta, Jumat (3/7/2015).
Sofyan menilai, protes dari masyarakat maupun serikat pekerja mengenai JHT sangat beralasan jika pekerja tiba-tiba terkena PHK. Sementara dana JHT baru bisa ditarik 10 tahun.
"Kalau misalnya orang kena PHK, dia perlu uang untuk modal, apakah dana ini bisa diambil saat itu dengan risiko tidak dapat jaminan hari tua atau dipinjamkan dan nanti dikembalikan. Ini sedang kita pikirkan," ucapnya.
Untuk mengakomodir usulan tersebut, kata Sofyan, pemerintah mempunyai dua opsi, berupa revisi PP atau membuat peraturan peralihan. Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan membuat draft perubahan PP, sehingga nanti akan ada masa transisi.
"Intinya JHT yang diterapkan saat ini, peserta boleh mencairkan dana saat usia 56 tahun. Misalnya memperoleh Rp 20 juta, lalu setiap bulan dapat lagi uang pensiun sampai kita meninggal. Jadi kita dapat Jaminan Hari Tua sekaligus uang pensiun yang dicicil setiap bulan," pungkas Sofyan. (Fik/Gdn)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menyalahkan kurangnya fleksibilitas Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tepatnya Pasal 37 Ayat 1-5 maka ketentuan program jaminan hari tua berlaku untuk masa kepesertaan 10 tahun atau saat usia peserta memasuki 56 tahun.
UU SJSN maupun BPJS disusun dan disahkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menuding, pemerintah sebelumnya dan DPR tidak memperhatikan masalah yang timbul akibat peraturan JHT ini.
"Ini bukan salah Menteri Ketenagakerjaan, masalahnya UU tidak fleksibel. Waktu membuat UU, DPR dan pemerintah tidak memikirkan kondisi ini. JHT memang diambil waktu tua, tapi selama ini JHT bisa dicairkan dalam kurun tidak terlalu lama sehingga menimbulkan complain," ujar Sofyan di kantornya, Jakarta, Jumat (3/7/2015).
Sofyan menilai, protes dari masyarakat maupun serikat pekerja mengenai JHT sangat beralasan jika pekerja tiba-tiba terkena PHK. Sementara dana JHT baru bisa ditarik 10 tahun.
"Kalau misalnya orang kena PHK, dia perlu uang untuk modal, apakah dana ini bisa diambil saat itu dengan risiko tidak dapat jaminan hari tua atau dipinjamkan dan nanti dikembalikan. Ini sedang kita pikirkan," ucapnya.
Untuk mengakomodir usulan tersebut, kata Sofyan, pemerintah mempunyai dua opsi, berupa revisi PP atau membuat peraturan peralihan. Saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan membuat draft perubahan PP, sehingga nanti akan ada masa transisi.
"Intinya JHT yang diterapkan saat ini, peserta boleh mencairkan dana saat usia 56 tahun. Misalnya memperoleh Rp 20 juta, lalu setiap bulan dapat lagi uang pensiun sampai kita meninggal. Jadi kita dapat Jaminan Hari Tua sekaligus uang pensiun yang dicicil setiap bulan," pungkas Sofyan. (Fik/Gdn)