Penjelasan Gubernur BI Soal Rupiah Terpuruk Akibat Yuan

Keterpurukan kurs rupiah dan sejumlah mata uang negara lain adalah kebijakan China yang sengaja melemahkan (devaluasi) mata uang Yuan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Agu 2015, 14:14 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2015, 14:14 WIB
Ilustrasi Rupiah
Ilustrasi Rupiah (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut. Depresiasi rupiah mencapai 10,16 persen pada Rabu (12/8/2015) kemarin.

Biang kerok keterpurukan kurs rupiah dan sejumlah mata uang negara lain adalah kebijakan China yang sengaja melemahkan (devaluasi) mata uang Yuan.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengungkapkan, fenomena penguatan dolar AS terus memberi tekanan pada rupiah dengan depresiasi 2,47 persen per kuartal, terutama dipicu kekhawatiran kenaikan suku bunga acuan The Fed dan penyelesaian krisis Yunani.

"Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menggembirakan di kuartal II 2015, tapi indikator ekonomi seperti inflasi, defisit neraca transaksi berjalan, neraca perdagangan dalam kondisi lebih baik," terangnya saat Konferensi Pers FKSSK di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (13/8/2015).

Sentimen spekulasi penyesuaian Fed Fund Rate belum usai, kini devaluasi mata uang Yuan yang dilakukan pemerintah China justru semakin menekan rupiah lebih dalam.

Negeri Tirai Bambu ini, sengaja mendepresiasi Yuan sebesar 1,9 persen terhadap dolar AS pada 11 Agustus 2015. Kemudian kembali melemahkan mata uangnya 1,6 persen di 12 Agustus 2015.

"Kebijakan ini dilakukan China karena melihat terjadi pelemahan kinerja ekspor dari ‎tumbuh positif menjadi negatif, banyaknya capital outflow, sehingga kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap mayoritas hampir seluruh mata uang di dunia, termasuk Indonesia," papar dia.

Parahnya lagi, dikatakan Agus, data terkini AS di sektor ketenagakerjaan mengindikasikan pertumbuhan positif sehingga diperkirakan penyesuaian suku bunga acuan AS akan lebih cepat.

"Rupiah sampai 12 Agustus 2015, terdepresiasi 10,16 persen atau lebih besar dari pelemahan mata uang Korea 8,35 persen, Thailand 6,62 persen dan Yen Jepang 3,96 persen. Tapi pelemahan rupiah lebih rendah dibanding depresiasi mata uang Malaysia 13,16 persen, Turki 16 persen lebih, Brazil 29,4 persen, dan Australia 10,16 persen," terang dia.

‎BI, dia memastikan akan terus menjaga stabilitas makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan melalui bauran kebijakan. "BI menempuh kebijakan pruden dalam mencapai target inflasi, menjaga likuiditas perekonomian di tingkat pusat dan daerah, melakukan stabilisasi di pasar valas, aturan penggunaan rupiah di NKRI dan sebagainya," cetus Agus.

‎Sementara menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro, kondisi makro ekonomi Indonesia terkendali meski ada tantangan besar dari eksternal maupun domestik.

"Memang ada tekanan rupiah, pasar saham dan pasar surat berharga negara, jadi kami siap memperkuat koordinasi dan mengambil kebijakan sesuai kewenangan masing-masing pasar. FKSSK akan terus meningkatkan kewaspadaan terkait pasar uang dan kurs rupiah," pungkas dia. (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya