Mendidik Laki-Laki untuk Langgengkan Benevolent Patriarchy yang Disebut Sebagai Tipe Suami Ideal

Ada sejumlah anggapan jika ciri suami yang ideal adalah yang disebut dengan benelovent patriarchy atau patriarki yang baik yaitu untuk melindungi dan mendukung wanita. Namun seorang pemerhati perempuan, Bethany Webster, punya pendapat berbeda.

oleh Henry Diperbarui 21 Apr 2025, 08:57 WIB
Diterbitkan 19 Apr 2025, 08:30 WIB
Ilustrasi pasangan, suami istri
Ilustrasi pasangan, suami istri. (Photo by freestocks on Unsplash)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Ada berbagai pendapat mengenai tipe suami ideal maupun ayah ideal. Ada sejumlah anggapan jika ciri suami yang ideal adalah yang disebut dengan benevolent patriarchy atau patriarki yang baik yaitu untuk melindungi dan mendukung wanita. Untuk itu laki-laki harus dididik untuk melanggengkan benevolent patriarchy.

Namun menurut seorang penulis dan pemerhati perempuan, Bethany Webster, benevolent patriarchy justru merujuk pada sistem patriarki yang berusaha menyembunyikan kekerasan dan diskriminasi yang sistemik terhadap perempuan. Caranya dengan mengklaim bahwa mereka memberikan perlindungan, manfaat, dan kebaikan kepada perempuan.

Sistem ini mendorong perempuan untuk bergantung pada laki-laki untuk bertahan hidup, keamanan, dan kebaikan mereka. Dalam patriarki yang baik hati, perempuan diyakini akan mendapatkan manfaat dari posisi dominan pria, seperti perlindungan, manfaat ekonomi, dan kebaikan sosial, jika mereka mengikuti aturan dan harapan pria.

Patriarki yang baik hati juga disebut menyembunyikan kekerasan dan diskriminasi yang sistemik terhadap perempuan, dengan mengklaim bahwa mereka memberikan perlindungan dan kebaikan kepada perempuan. Istilah Benevolent Patriarchy sendiri memang belum banyak diketahui dan masih mengundang perdebatan.

Seorang aktivis keseteraan gender, Humaira Asg, mengatakan bukan orang yang tepat untuk mendefinisikan istilah Benevolent Patriarchy. Meski begitu ia berpendapat, seorang ayah harus memberikan agensi kepada anaknya untuk mengambil keputusan, baik terhadap anak laki-laki atau perempuan.

“Tentu seorang Ayah ingin selalu melindungi anaknya, apalagi yang perempuan. Namun penting untuk diketahui bahwa keduanya lahir dengan kemampuan yang setara, jangan sampai jenis kelamin seorang anak malah melimitasi orangtua dalam memberikan treatment dan pengajaran yang baik kepada anak,” terangnya dalam keterangan tertulis pada tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 18 April 2025.

Mengenai tipe suami yang ideal, perempuan yang biasa disapa Maira ini mengemukakannya dalam perspektif keadilan gender. Ia menilai, suami yang ideal adalah yang menerapkan prinsip consent, kompromi, dan diskusi dengan basis keadilan. Laki-laki yang sudah memantapkan diri untuk menikah juga harus memantapkan dirinya untuk mendiskusikan peran dengan pasangannya kelak urusan rumah, keuangan, anak, dan sebagainya. Tanpa ada bias konstruksi sosial.

 

 

Mengkotak-kotakkan Peran Gender

Ilustrasi suami memasak
Ilustrasi suami memasak. (Sumber: Pixabay)... Selengkapnya

Idealnya, laki-laki juga harus menyadari adanya konstruksi sosial yang mengkotak-kotakan peran gender di rumah tangga kerap berujung tidak adil

"Misalnya, perempuan jadi banyak beban perawatan, laki-laki dipandang tidak boleh lemah di depan keluarga. Padahal itu semua bisa diubah sesuai dengan kesepakatan dan diskusi di atas. Sehingga rumah tangga dijalankan dengan basis respek terhadap pasangan, bukan karena basis konstruksi sosial yang seringkali tidak adil," katanya.

"Bila suami ideal ini kita artikan seperti di atas, yaitu orang yang menyadari adanya konstruksi yang membuat peran gender dalam keluarga jadi tidak adil, bisa jadi ia bisa menjadi ayah yang ideal juga karena dia sudah mengerti dasar keadilan, dia sudah tau apa yang salah dengan norma sosial," jelasnya.

Pengetahuannya tentang hal itu, ia melanjutkan, bisa membantu pria dalam mengambil keputusan dalam merawat dan mengedukasi anak tanpa ada bias. "Misalnya kalau nanti punya anak, tidak melulu anak perempuan disuruh mengerjakan tugas rumahan sedangkan anak laki-lakinya main-main."

Maira juga menilai sosok ayah bisa sangat mempengaruhi mindset seorang pria tentang sosok suami dan ayah yang ideal ada benarnya. Tak sedikit orang yang punya isu kesehatan mental yang akarnya sebenarnya datang dari absensi ayah dalam hidup.

Suami Lebih Terlibat Urusan Rumah dan Keluarga

Berbagi Waktu untuk Anak-Anak
Ilustrasi Keluarga Bahagia Ibu Ayah Anak / Freepik by pressfoto... Selengkapnya

"Kita sudah sering dengar istilah “fatherless country” yang disematkan ke negara Indonesia karena peran gender yang terlalu rigid dan saklek malah jadi buat anak tidak bisa dekat dengan ayahnya karena nilai maskulinitas yang dipatuhi ayah: dingin, jauh, tidak berhati. Padahal tidak semata-mata harus seperti itu," tuturnya.

Sementara itu komunitas Safe Kids Indo yang diwakili Wahyu juga tidak merasa berkompeten mengemukakan pendapatnya mengenai benevolent patriarchy. Menurut Wahyu, secara tradisional fungsi suami tetap jadi provider dan pelindung keluarga. Jadi nilai utamanya tidak berubah, tapi sekarang lebih diharapkan suami yang involve ke urusan rumah dan keluarga, terutama pengasuhan anak bagi yang sudah memiliki anak. Jadi tidak cukup hanya sebagai penyedia dan pelindung secara fisik.

"Suami juga diharapkan punya kepedulian, pengetahuan dan kemampuan untuk mengasuh dan mendidik anak. Otomatis kriteria suami juga bertambah dengan kapasitasnya terhadap hal-hal tersebut," jelas Wahyu pada tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 18 April 2025.

"Dalam konteks keselamatan keluarga (family safety), kepala keluarga diharapkan menjadi leader dalam mengidentifikasi bahaya, mengurangi risiko dan mengkomununikasikan bahaya tersebut ke anggota keluarga," tambahnya.

 

Bukan Selalu Benar, tapi Berani Memperbaiki

Mempertimbangkan Dampak Perceraian Pada Anak
Ilustrasi Pasangan Suami Istri Credit: unsplash.com/cottonbro... Selengkapnya

Sementara psikolog Woro Aryati mengatakan pernah mendengar istilah benevolent patriarchy tapi tidak terlalu jelas. "Mungkin dia baik di dalam keluarga, tapi di luar keluarga, dia menjadi tokoh yang otoriter," ujarnya pada tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 18 April 2025.

Soal sosok suami ideal, menurut psikolog yang biasa disapa Ary ini, adalah yang bertanggung jawab dan konsisten dengan ikrarnya untuk membina keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Tidak verbal/physically abusive, menjaga kesehatan diri dan mampu menjaga hubungan sosial yang baik dengan keluarga, tetangga dan komunitas pada umumya.

Namun terkadang masalahnya para pria biasanya sibuk dengan pekerjaannya di kantor maupun tempat kerja lainya. Situasi itu meembuat quality time dengan anak agak berkurang sehingga harus bisa mencari waktu untuk lebih lama bersama keluarga.

Di sisi lain, bagi konsultan pernikahan Indra Noveldy, tipe suami yang ideal bukan berarti sempurna. Tapi dia adalah pria yang memilih untuk terus belajar mencintai, meski keadaan berubah. Ia bukan hanya memimpin, tapi juga hadir. Ia bukan hanya memberi nafkah, tapi juga memberi rasa aman.

"Dia berani mengakui kesalahan, dan cukup bijak untuk tidak merasa kalah saat minta maaf. Dia menjaga istrinya bukan karena lemah, tapi karena tahu: cinta itu harus diperjuangkan setiap hari. Jadi, suami ideal bukan yang selalu benar, tapi yang selalu berani memperbaiki," terangnya pada tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 17 April 2025.

 

Benang Merah Sosok Suami dan Ayah

mendidik
Ilustrasi seorang ayah yang menghabiskan waktu dengan anak-anaknya. (Foto: Unsplash/Juliane Lieberman)... Selengkapnya

Ada benang merah antara sosok suami ideal dan ayah ideal, tapi tidak selalu identik. Seorang suami ideal belum tentu langsung menjadi ayah ideal — karena menjadi ayah menuntut level kedewasaan yang berbeda. Ayah yang ideal adalah yang bisa mendengar tanpa menghakimi, menguatkan tanpa menggurui, dan mengasihi tanpa syarat.

"Tapi satu hal pasti: ayah yang baik selalu dimulai dari suami yang baik. Karena pola cinta, komunikasi, dan kepemimpinan yang ditanamkan pada istri akan tercermin pada pola pengasuhan anak," katanya.

"Kalau relasi suami-istri penuh konflik diam-diam, anak akan belajar diam-diam menyimpan luka. Jadi, suami yang hadir dan mencintai istrinya dengan sehat, biasanya akan lebih siap menjadi ayah yang bisa mencintai anak-anaknya dengan utuh," lanjutnya.

Mengenai pemgaruh ayah terhadap seorang pria menurut Indra sangat bisa berpengaruh bahkan kerap lebih kuat daripada yang kita sadari. Kalau seorang anak laki-laki tumbuh dengan ayah yang kasar, abai, atau tidak hadir, maka bisa ada dua arah, yaitu:

– Dia mengulang pola yang sama.

– Atau dia berjuang keras agar tidak menjadi seperti ayahnya.

"Saya pribadi belajar banyak dari ayah saya. Dalam keterbatasannya, beliau tetap mencoba hadir. Tapi jujur, banyak hal yang saya pelajari karena luka, bukan hanya karena teladan. Itulah kenapa saya selalu bilang: Setiap pria harus berani memutus rantai luka dari generasi sebelumnya, agar tidak diwariskan ke generasi berikutnya," tuturnya.

"Dan itu dimulai dengan keberanian untuk menyadari pola, memulihkan diri, dan memilih jadi versi ayah yang lebih sehat," pungkasnya.

 

Infografis Kasus-Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Indonesia.  (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kasus-Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Indonesia.  (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya