Pengampunan Pajak, Jalan Cepat Buat Negara yang Kekurangan Duit

Tidak lazim bagi sebuah negara untuk memberikan pengampunan pajak kepada pelaku kejahatan, termasuk koruptor.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Okt 2015, 13:07 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2015, 13:07 WIB
Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), DPR RI mencuatkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Nasional atau dikenal dengan pengampunan pajak alias tax amnesty. Kontroversi muncul ketika ada wacana koruptor diperbolehkan mengikuti tax amnesty dengan penghapusan pidana umum dan lainnya.

Namun memang, kontroversi tersebut sudah tegas dibantah pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dan DPR RI yang mengusulkan ide tax amnesty tersebut. Bahwa korupsi dicoret dari daftar pengampunan pajak, karena program ini hanya menawarkan pembebasan sanksi pidana pajak.

Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia, Ruston Tambunan menilai penegasan ini sangat penting karena tidak lazim bagi sebuah negara untuk memberikan pengampunan pajak kepada pelaku kejahatan, termasuk koruptor.

"Di negara lain yang menerapkan tax amnesty, hanya diberikan pengampunan saksi pidana pajak, bukan pidana lain. Tapi kalau sudah ikut program ini, jangan tanya lagi itu uang dari mana. Kecuali KPK, Kepolisian bisa membuktikan bahwa uang itu dari hasil korupsi dan pemilik sudah jadi buronan. Itu yang salah jika diberi ampunan," tegas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (20/10/2015).

Berdasarkan data McKinsey, Ruston mengatakan, ada kurang lebih Rp 3.000 triliun harta orang Indonesia yang disimpan di Singapura. Bahkan potensinya diakui dia, lebih besar mengingat dana orang Indonesia bukan saja diparkir di Negeri Singa, tapi juga Swiss, Luksemburg, Cayman Islands dan negara lain dengan tarif pajak rendah.

"Tapi saya yakin Rp 3.000 triliun itu belum tentu semuanya tidak bayar pajak di Indonesia. Misalnya saya beli saham di Singapura, kalau saya jujur melaporkan di Indonesia, saya kena pajak. Kalau yang harus dipajaki itu orang Indonesia yang simpan duit di luar negeri tapi sama sekali tidak setoran pajak di sini, kata lainnya ngemplan pajak," jelasnya.

Dalam hal ini, kata Ruston, penting bagi Ditjen Pajak memperkuat basis data untuk menyisir pemilik rekening dana maupun harta yang tersimpan di luar negeri dan belum memenuhi kewajiban menyetor pajak di Indonesia sehingga ada potensi untuk ditarik masuk.

"Tax amnesty biasanya diterapkan saat negara kekurangan duit. Itu alasannya. Italia, India dan Brazil pernah menerapkan tax amnesty dan berhasil. Sementara Indonesia pernah melakukannya tapi gagal karena tidak ada penegakkan hukum yang tegas," kata dia.

Seperti diketahui, Menkeu Bambang Brodjonegoro mengakui adanya perkiraan melebarnya kekurangan target penerimaan pajak dari Rp 120 triliun menjadi Rp 130 triliun sampai dengan Rp 140 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

"Dalam keadaan shortfall penerimaan pajak, di mana realisasinya tidak bisa memenuhi target atau selalu di bawah Rp 1.000 triliun, tax amnesty adalah cara paling cepat mendatangkan uang. Tapi dengan catatan ya, kita punya data akurat untuk menyisir pemilik dana atau orang Indonesia yang menyimpan uang di luar negeri," terang Ruston.

Dengan program pengampunan pajak tarif rendah, Ruston optimistis pengusaha asing maupun orang Indonesia yang selama ini menyimpan dananya di luar negeri, bisa ditarik ke Negara ini dengan potensi penerimaan cukup besar.

"Kalau dari Rp 3.000 triliun, sebesar 40 persennya atau Rp 1.200 triliun saja masuk ke Indonesia dan dipungut tarif pajak 3 persen, maka Rp 36 triliun akan masuk ke penerimaan negara," tandas Ruston. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya