DPR: Pungutan BBM Sudah Sesuai UU

Dalam UU Energi, dana ketahanan energi ‎untuk pengembangan energi baru terbarukan berasal dari pungutan energi fosil.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 31 Des 2015, 15:01 WIB
Diterbitkan 31 Des 2015, 15:01 WIB
Ilustrasi Minyak Pertamina (2)
Ilustrasi Minyak Pertamina (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang merumuskan dana ketahanan energi untuk pengembangan energi ke depan. Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha menilai, hal tersebut ‎sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Dalam UU Energi, dana ketahanan energi ‎untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) berasal dari pungutan energi fosil.

"Itu sudah bunyi UU energi Nomor 30, biaya pengembangan energi baru diambil dari yang dihasilkan energi fosil seperti minyak, gas, batu bara. Diambil dari situ," kata Satya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (31/12/2015).

Satya menambahkan, dana ketahanan energi tidak hanya diambil dari kegiatan hilir, tetapi juga kegiatan hulu. Pasalnya, tidak semua energi fosil ada hilirisasinya.

‎"Kalau kita bicara batu bara itu bisnis hulu semua. Ada hilirnya listrik tapi kecil, sekitar 80 persen masih diekspor," papar Satya.

Hal tersebut senada dengan Dewan Energi Nasional (DEN) yang mengusulkan dana ketahanan energi tidak hanya dipungut dari bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar.

Anggota DEN Rinaldy Dalimi mengatakan jika dana ketahanan energi ini mulai diterapkan pada tahun depan, maka seharusnya tidak hanya dipungut pada Premium dan Solar saja, tetapi juga kepada seluruh jenis bahan bakar minyak (BBM) lainnya dan energi lainnya.

"Penerapan dana ini diberlakukan juga untuk BBM jenis Pertamax, Pertamina Dex, Pertalite, dan lain-lain," tuturnya.

Rinaldy menyatakan pungutan pada BBM non-subsidi lain bisa dilaksanakan secara bertahap setelah pungutan dari Premium dan Solar telah berjalan dengan baik di masa depan.

"Dan ini tidak hanya dipungut saat harga BBM sedang rendah, tetapi pada saat tinggi. Karena kalau dilihat dari depletion premium (premi pengurasan) saat harga tinggi itu yang bisa lebih besar," ungkapnya. (PEw/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya