Liputan6.com, Jakarta - Harga saham yang ditawarkan oleh PT Freeport Indonesia kepada pemerintah senilai US$ 1,7 miliar untuk 10,64 persen saham dinilai terlalu mahal. Harga tersebut dinilai tidak sesuai dengan kinerja fundamental perusahaan.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic (CIRUS), Budi Santoso mengatakan, harga yang ditawarkan Freeport tersebut terlalu mahal jika dibandingkan dengan kinerja keuangan yang telah ditorehkan oleh Freeport dalam beberapa tahun terakhir.
Dari hitungan Budi, jika laba bersih Freeport dalam 5 tahun ke depan sama dengan laba bersih yang dibukukan pada 2014 yang tercatat US$ 500 juta, maka total laba tersebut mencapai US$ 2,5 miliar. Sedangkan jika didasarkan dengan hitungan laba bersih pada 2013 yang tercatat US$ 784 juta maka akumulasi laba bersih perusahaan dalam lima tahun ke depan hanya US$ 3,92 miliar.
Jika ditambah dengan aset yang dimiliki Freeport yang sebesar US$ 9,1 miliar, maka valuasi dari saham freeport di kisaran US$ 13 miliar saja. Sedangkan dalam hitungan Freeport, valuasi untuk seluruh saham yang mereka miliki di kisaran US$ 16,2 miliar.
"Jadi nilai freeport yang US$ 16,2 miliar itu terlalu besar. Hal tersebut perlu menjadi pertimbangan pemerintah," kata Budi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (15/1/2016).
Baca Juga
Dalam 5 tahun ke depan, Freeport lebih banyak melakukan pengembangan. Oleh sebab itu, laba bersih yang diraup seharusnya lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, Budi menilai tidak pantas Freeport mengajukan harga saham yang setara dengan Rp 23 triliun tersebut.
Budi mengingatkan, agar pemerintah tidak terjebak membeli saham dengan harga mahal. Pasalnya, hal tersebut akan mengikat dalam perpanjangan operasi setelah kontrak Freeport berakhir pada 2021.
"Bagaimana kalau pemerintah tidak melanjutkan izin pengusahaan grasberg ke Freeport. Jangan sampai pemerintah tersandera oleh pembelian sahamnya yang belum balik, akhirnya terpaksa memperpanjang freeport," pungkasnya.
Untuk diketahui, Freeport telah menawarkan saham ke pemerintah Indonesia. Saham yang ditawarkan sebesar 10,64 persen dengan nilai US$ 1,7 miliar.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot mengatakan, Freeport telah melayangkan surat penawaran saham sebesar 10,64 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. Penawaran tersebut dilakukan sehari sebelum batas waktu penawaran habis, yang jatuh Kamis 14 Januari 2016.
"Mereka telah menawarkan sahamnya sesuai dengan kewajiban dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2014 dimana mereka harus menawarkan 10,64 persen," kata Bambang, di Jakarta, Kamis (14/1/2016).
Dalam penawarannya, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut mengajukan harga US$ 1,7 miliar atau senilai Rp 23,83 triliun (estimasi kurs: Rp 14.016 per dolar AS) untuk 10,64 persen saham. Sedangkan harga untuk saham Freeport seluruhnya mencapai US$ 16,2 miliar.
"Tentunya di dalam penawaran tersebut juga disampaikan besarannya yang 100 persen adalah US$ 16,2 miliar. Kemudian yang 10,64 persen menjadi US$ 1,7 miliar," ungkap Bambang.
Setelah Freeport menawarkan sahamnya, pemerintah akan melakukan evaluasi tawaran dari Freeport tersebut. "Sesudah menyampaikan tawarannya tentunya menjadi tugas pemerintah memberikan evaluasi terhadap valuasi yang disampaikan Freeport," tutup Bambang.
Untuk diketahui, kewajiban divestasi Freeport mengacu ke Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, dalam beleid tersebut mengatur tiga kategori divestasi perusahaan tambang asing. Jika perusahaan tambang asing hanya melakukan kegiatan pertambangan maka divestasi sebesar 51 persen. (Pew/Gdn)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6