Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang tidak memprioritaskan aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat terbatas membahas kerangka kerja tentang konvensi pengendalian tembakau, di Kantor Presiden, Jakarta pada Selasa 14 Juni kemarin. Sebab, hanya Indonesia, negara di Asia yang belum ikut konvensi tersebut.
Presiden menyatakan Pemerintah tidak akan mengikuti tren internasional dengan beramai-ramai mengaksesi FCTC. Bagi Presiden, kepentingan nasional harus diutamakan.
Baca Juga
"Dan juga kita perlu memikirkan, yang kadang dilupakan, kelangsungan hidup petani tembakau, para buruh tembakau yang hidup dan bergantung pada industri tembakau. Ini juga tidak kecil. Menyangkut orang yang sangat banyak," jelas Jokowi.
Â
Ketua Dewan Pimpinan Nasional APTI Agus Parmuji, mendukung penuh sikap Presiden tersebut. Menurut dia, kerangka FCTC jika diterapkan di Indonesia tidak sesuai dengan karakter budaya karena melibatkan tenaga kerja, petani, buruh, sehingga bakal mematikan ekonomi nasional.
Â
Advertisement
Baca Juga
"Kami sudah sampaikan ke Menteri Pertanian, Menteri Tenaga Kerja, bahwa petani tembakau menolak keras FCTC . Kami bangga Presiden Jokowi tidak hanya melihat aspek kesehatan saja, namun memperhatikan kultur budaya petani," dia menegaskan.
Â
Agus sepakat bahwa pemerintah tidak perlu mengaksesi FCTC karena PP 109 sudah sepenuhnya mengadopsi isi FCTC. Petani juga berharap pemerintah mempertimbangkan matang agar cukai rokok tidak terus naik karena juga berdampak buruk pada petani.
Â
Menurut Agus, 100 persen hasil pertanian tembakau diakomodir oleh industri untuk kebutuhan rokok. "Kami berharap juga Presiden mempertimbangkan untuk tidak mengjenjot cukai naik signifikan. Kami para petani ingin berdaulat menanam tembakau," tegasnya.
Â
Sayangnya luas kebun tembakau dan produksi tembakau terus merosot akibat ketiadaan bibit unggul. Pada tahun lalu, produksi nasional tembakau hanya mencapai sekitar 170 ribu ton dengan luas lahan 192.525 hektar. Padahal pada 2012, produksi tembakau bisa mencapai 260 ton ton.
Â
Senada dengan Ketua APTI, Ketua Umum GAPPRI Ismanu Soemiran menyambut gembira sikap Presiden tersebut. Industri hasil tembakau (IHT) berterimakasih pada Presiden yang bersikap melindungi kepentingan nasional.
Â
"Ini menandakan bahwa industri yang berpotensi besar terhadap penyediaan tenaga kerja kemudian juga kontribusi ekonomi ke negara, benar-benar diperhatikan karena mencari pengganti dari sumbangan ekonomi tembakau tidak mudah," ujar Ismanu.
Â
Sikap Presiden itu membuktikan, kontribusi dari IHT memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Industri ini memiliki hubungan kerja yang bersifat kegotongroyongan antara petani tembakau dan industri rokok baik skala besar, menengah, maupun kecil. "Kami senang Bapak Presiden melihat ini," tegas Ismanu. Â
Â
Yang pasti, bagi industri, apapun keputusan pemerintah akan diikuti dan dilaksanakan. Hanya saja, industri berharap di tengah ekonomi lesu, mencari pengganti kekuatan ekonomi yang terbukti tahan krisis ini.
Â
Menurut Ismanu, akan lebih baik lagi pemerintah membuat peraturan-peraturan yang mampu melindungi industri kretek. Perlu diketahui, saat ini IHT merupakan industri yang padat regulasi. Tak kurang ada tiga undang-undang yang harus dipatuhi, belum termasuk peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan ratusan peraturan daerah.
Â
Kata Ismanu, IHT sudah cukup tertekan dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. “Walaupun tidak aksesi FCTC, tapi PP 109 sudah menekan industri. Kami juga patuh menjalankan peraturan," dia menegaskan. (Nrm/Ndw)Â