Tanggapan APLN Soal Penghentian Proyek Reklamasi Pulau G

Agung Podomoro Land belum menerima pemberitahuan resmi terkait penghentian reklamasi Pulau G Pantai Utara Jakarta.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 02 Jul 2016, 17:39 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2016, 17:39 WIB
20160405- Proyek Reklamasi Teluk Jakarta- Gempur M Surya
Sejumlah kapal melewati Pulau G dalam proyek Reklamasi Teluk Jakarta di Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (5/4). Salah satu dampak yang perlu diantisipasi Pemprov DKI Jakarta atas reklamasi pantai adalah nasib para nelayan. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) belum menerima pemberitahuan resmi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait penghentian reklamasi Pulau G Pantai Utara Jakarta. Reklamasi Pulau G dilakukan oleh anak usaha APLN yakni PT Muara Wisesa Samudra (WMS).

Sekretaris Perusahaan APLN, F Jus‎tini Omas mengatakan, dia belum menerima surat pencabutan izin reklamasi yang sudah dikeluarkan Gubernur DKI No 2238 Tahun 2014. Menurutnya, MWS telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh izin yang diperlukan untuk mengembangkan Pulau G.

"Kami telah memenuhi 6 persyaratan perolehan izin reklamasi Pulau G," kata dia dalam keterangan pers, Jakarta, Sabtu (2/7/2016).

Enam persyaratan tersebut adalah:

Pertama, sejak awal dimulainya design konstruski sampai pelaksaan reklamasi Pulau G telah melibatkan konsultan ahli yang telah diakui di dunia yaitu Royal Haskoning DHV, dengan pengalaman lebih dari 135 tahun di berbagai negara.

Kedua, Join Operation Boskali - Van Oord (JOBVO) sebagai perusahaan join venture dua kontraktor reklamasi asal Belanda yaitu Boskalis dan Von Oord merupakan kontraktor utama pelaksanaan reklamasi Pulau G.

"Keduanya merupakan perusahaan bertaraf internasional dengan pengalaman lebih dari 100 tahun. Salah satu proyeknya adalah proyek pembuatan Palm Jumairah, Dubai," jelas dia.

Ketiga, reklamasi Pulau G telah dilaksanakan survei lapangan. Hasilnya, tidak ditemukan kabel listrik, pipa gas dan benda logam lain dalam area konsesi area Pulau G.

Keempat, jarak Pulau G dan pipa gas milik PLN telah lebih jauh. " Jarak antara Pulau G dan pipa gas milik PLN yang semula berjarak 25 meter, setelah melalui kajian dari Pemerintah Daerah DKI, Pulau G digeser ke arah barat sejauh 50 meter sehingga jarak antara pulau dan pipa menjadi semakin jauh 75 meter," ujar dia.

kelima, keberadaan Pulau G tidak mengganggu jalur pelayaran karena telah dibuatkan kanal selebar 300 meter. ‎

Keenam, dalam proses reklamasi tidak ditemukan biota laut di area reklamasi Pulau G.

"Sejak dijalankannya proses reklamasi maupun sejak 15 tahun sebelumnya, tidak ditemukan biota laut di area perairan reklamasi pulau G. Hal ini diperkuat dengan hasil dari soil test yang dilakukan yaitu dasar laut terdiri atas lumpur hitam yang menunjukkan bahwa laut sudah terkontaminasi," tandas dia.

Sebelumnya pada 20 Juni 2016, Pemerintah memutuskan untuk menghentikan proyek reklamasi Pulau G di pantai utara Jakarta. Hal tersebut merupakan hasil keputusan dalam rapat gabungan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemprov DKI Jakarta, serta dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menyatakan, keputusan tersebut diambil setelah adanya evaluasi. Hasil akhir dari evaluasi tersebut adalah proyek reklamasi Pulau G masuk dalam pelanggaran berat. "Kami putuskan Pulau G untuk dibatalkan, dan juga sampai seterusnya," ujar dia di Jakarta, Kamis (30/6/2016).

Penetapan pelanggaran berat ini lantaran proyek reklamasi pulau tersebut membahayakan lingkungan hidup sekitar, mengganggu proyek vital strategis dan mengganggu lalu lintas pelabuhan. "Pulau G masuk pelanggaran berat karena di bawahnya banyak kabel listrik, power station PLN," lanjut dia.

Selain itu, ujar Rizal, proyek reklamasi ini juga mengganggu jalur lalu lintas kapal nelayan di sekitar Muara Angke. Karena itu, mau tak mau kapal-kapal tersebut harus memutar arah agar bisa mendaratkan hasil tangkapan.

"Ini juga mengganggu lalu lintas kapal nelayan. Sebelum ada pulau, nelayan bisa mendarat di Muara angka. Namun pembangunan pulau ini menutup akses sehingga nelayan harus memutar dan menghabiskan Solar. Selain itu, proses pembangunan secara teknis juga sembarangan sehingga mengganggu biota‎ laut," tandas dia.

 

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya