Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) kecewa dengan keputusan pemerintah mengimpor garam industri sebanyak 3,7 juta ton pada 2018. Kebijakan tersebut akan semakin menyengsarakan petani garam lantaran produksinya tidak terserap industri.
"Kayaknya garam industri yang dimodifikasi biar izinnya bisa industri. Kalau sudah industri, garam rakyat seakan-akan tidak bisa memenuhi spek untuk garam industri, jadi sah-sah saja kalau diimpor," kata Ketua APGRI, Jakfar Sodikin saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Baca Juga
Padahal, diungkapkan Jakfar, produksi garam rakyat selama ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan beberapa sektor industri, seperti industri aneka pangan, pengasinan ikan, penyamakkan kulit, pengeboran minyak, industri es, dan lainnya.
Advertisement
"Memang tidak semua industri bisa dipenuhi dari garam rakyat, misalnya garam dari Australia yang NaCl (Natrium Klorida) sangat tinggi 99 persen, cocok untuk Asahimas bisa untuk paralon, soda api, menghancurkan kertas jadi bubur supaya lebih cepat," jelasnya.
"Tapi kalau kayak ikan asin, itu kan ikan asin dibelah, dijemur, lalu ditaburin (garam). Untuk penyamakkan kulit juga begitu. Nah itu cocoknya garam lokal karena teksturnya tidak keras," Jakfar menambahkan.
Sayangnya, dia berucap, pemerintah kemudian membuka keran impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton untuk industri-industri aneka pangan, pengasinan ikan, dan lainnya yang memang sebetulnya bisa dipenuhi dari produksi garam rakyat dan tidak memenuhi unsur industri karena garam diproses jadi garam.
Lebih jauh, Jakfar menuturkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam rakyat pada 2015 sebanyak 2,9 juta ton. Selanjutnya pada 2016, panen garam hanya sekitar 144 ribu ton akibat gagal panen.
Jumlah produksi 2,9 juta ton garam rakyat di 2015 terjadi surplus sehingga tidak habis diserap pada 2015-2016. Jakfar menambahkan, produksi garam rakyat terjadi di semester II-2015 untuk mencukupi kebutuhan semester II-2015 dan semester I-2016.
"Ada surplus ditambah dengan produksi 144 ribu ton, jadi garam hanya sampai di Januari 2017 habis. Terjadilah kekurangan garam di 2017 karena 2016 gagal panen," dia menerangkan.
Menurutnya, rata-rata normal panen garam rakyat sekitar 2 juta ton dan setiap tahun seluruhnya terserap. Artinya ada industri yang bisa dipenuhi oleh produksi garam rakyat lokal, selain konsumsi 700 ribu ton.
"Tahun ini produksi garam rakyat 2017 sekitar 1,4 juta ton, dan kebutuhannya 1,8 juta ton, berarti ada kekurangan pasokan 400 ribu ton. Tapi ini malah impor 3,7 juta ton, jadi menurut saya ada kongkalikong atau permainan data sehingga semuanya diberikan izin impor garam industri," papar Jakfar.
Dengan impor 3,7 juta ton tersebut, dia memperkirakan akan ada perembesan garam industri impor untuk garam konsumsi masyarakat. "Pasti ini merembes ke konsumsi. Kecuali Asahimas, tidak mungkin untuk konsumsi," ujarnya.
Â
Petani Merugi
Jakfar menjelaskan, impor garam industri 3,7 juta ton akan merugikan petani kecil. Alasannya, jatah penyerapan garam rakyat hanya 700 ribu ton, sementara saat normal produksinya bisa mencapai 2 juta ton, sehingga ada sisa 1,3 juta ton.
"Mau kemana lagi jual 1,3 juta ton, karena kebutuhan garam sudah dipenuhi dari impor. Bisa-bisa tidak laku garamnya. Akhirnya karena petani butuh makan, berapapun harganya dijual, ditukar sama beras saja mau," dia mengatakan.
Kata Jakfar, awal bulan ini harga jual garam rakyat sebesar Rp 2.900 per kg. Harga tersebut sudah bergerak turun Rp 300 per kg menjadi Rp 2.600 per kg.
"Kalau garam jadi datang ke Surabaya akhir bulan ini, harga garam bisa turun lagi ke Rp 1.500 per kg. Kalau datang semuanya 3,7 juta ton, bisa tidak laku garam lokal, siapa yang mau beli, wong harga garam impor lebih murah," tuturnya.
Harga garam industri asal India misalnya, diakui Jakfar, dibanderol Rp 400 per kg yang masuk ke Surabaya. Sementara garam impor dari Australia dijual lebih mahal sebesar Rp 650 per kg.
"Kalau garam rakyat lokal mau laku, ya jualnya harus di bawah harga garam India, yaitu Rp 200-300 per kg. Dihitung biaya panen, biaya angkut, petani cuma dapat Rp 50 per kg. Habis lah kami. Katanya pemerintah mau bangun dari pinggiran, ini mah namanya membasmi dari pinggir," sindir Jakfar.
Advertisement