Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Selasa pekan ini.
Mengutip Bloomberg, Selasa (3/7/2018), rupiah dibuka di angka 14.397 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.390 per dolar AS. Sesaat kemudian rupiah kembali tertekan hingga ke level 14.429 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.397 per dolar AS hingga 14.429 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6,16 persen.
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.418 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.331 per dolar AS.
Rupiah merosot di awal pekan perdagangan ini karena Dolar semakin stabil dan ketegangan perdagangan global mengganggu ketertarikan investor pada mata uang ini.
Baca Juga
Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed menjelaskan, kekhawatiran yang semakin besar mengenai arus keluar modal yang mempengaruhi ekonomi Indonesia semakin memperburuk keadaan rupiah.
Juni adalah bulan trading yang sangat sulit bagi mata uang pasar berkembang. Apabila situasi negatif ini berlanjut di bulan Juli, mata uang pasar berkembang dapat semakin terpukul, termasuk rupiah.
"Pelemahan rupiah dapat berlanjut mendekati 14 500 per dolar AS apabila mata uang AS terus menguat, jelas dia, Selasa (3/7/2018).
Ia melanjutkan, enam bulan pertama 2018 menarik. Fundamental ekonomi dan politik menjadi sorotan utama dan sangat memengaruhi pasar.
The Federal Reserve melakukan pengetatan karena pertumbuhan dan inflasi terus meningkat. Perang perdagangan antara AS dan seluruh negara lainnya terutama China dan Uni Eropa semakin memanas. "Selain itu, pemerintahan AS memberi stimulus besar untuk ekonomi yang sudah mendekati full employment sehingga Dolar AS semakin menguat, tambah dia.
Terobosan
Ekonom senior dari Centre of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menilai, BI perlu ada terobosan lain untuk menstabilkan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Kalau untuk stabilisasi nilai tukar rupiah dengan suku bunga ini jelas tidak cukup. BI perlu ada terobosan-terobosan lain untuk mempertahankan nilai tukar," tutur dia kepada Liputan6.com.
Pieter menilai, tekanan rupiah tidak hanya dari sentimen eksternal terutama dari kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve. The Federal Reserve (the Fed) atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) kembali menaikkan suku bunga pada pertengahan Juni 2018. Dalam kenaikan suku bunga pada Juni ini, the Fed mematok di kisaran 1,75 persen hingga 2 persen.Â
Pieter prediksi, the Federal Reserve kembali naikkan suku bunga acuan pada pertemuan September 2018. Diperkirakan suku bunga the Federal Reserve naik sebanyak empat kali pada 2018.
Selain eksternal, Pieter menyoroti sentimen internal bayangi rupiah. Salah satunya neraca perdagangan Indonesia masih alami defisit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia Mei 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,52 miliar.Â
"Seperti saya katakan, masih banyak hal yang buat rupiah bergejolak. Bulan depan ada rilis neraca perdagangan RI dari badan pusat statistik (BPS), kalau ini masih defisit, ya otomatis rupiah pasti bergejolak," kata dia.
"Jadi 50 basis poin ini saya rasa terlalu tinggi. Ini juga pasti buat rupiah akan bergejolak. Makanya BI perlu terobosan-terobosan baru terkait hal ini," tambah dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement