Liputan6.com, Jakarta - Kecamuk pasar global akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China turut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan belum bisa mencapai 7 persen pada tahun depan atau tepatnya hanya di angka 5,1 persen.
Proyeksi tersebut rupanya masih berada di bawah target pemerintah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 5,3 persen.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menyebutkan, ada beberapa indikator yang mendukung penilaian tersebut. Pertama, yakni pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan Pemerintah RI.
Advertisement
"Kebijakan moneter ketat memang berdampak kepada perekonomian. Itu kenapa kita lihat pertumbuhan ekonomi masih akan dibawah ekspetasi sebelumnya," ungkap dia di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Baca Juga
Indikator kedua, lanjutnya, yaitu perang dagang AS-China yang turut menyebabkan pertumbuhan ekonomi berbagai negara di penjuru dunia tertahan.
"Karena memang seluruh dunia, kecuali Amerika, mengalami perlambatan ekonomi. Bahkan China untuk pertama kalinya mencatatkan current account deficit (defisit transaksi berjalan) dalam 20 tahun terakhir, yang menurun ke bawah," urainya.
Hal senada dilontarkan Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal, yang menganggap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 nanti akan berada di kisaran 5,1-5,2 persen.
"Berdasarkan prediksi kami, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 masih sama dengan 2018, yaitu antara 5,1 persen sampai 5,2 persen," sebut dia.
Dia bahkan memandang, negara besar seperti Amerika Serikat dan China pun pada tahun besok bakal ikut merasakan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat.
"Hampir semua negara pada 2019 nanti mengalami perlambatan. Amerika sendiri diprediksi akan melambat dari 2,9 persen menjadi 2,5 persen. Bukan hanya Amerika saja, tapi juga negara-negara di Eropa dan China," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BI: Pertumbuhan Ekonomi Dunia Tak Seimbang
Bank Indonesia (BI) menilai ekonomi global tumbuh melandai dan tidak seimbang, disertai ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, ekonomi AS yang tumbuh kuat pada 2018 diperkirakan akan mengalami konsolidasi pada 2019.
"Namun, ekspektasi inflasi AS tetap tinggi sehingga the Fed diperkirakan melanjutkan kenaikan suku bunga kebijakannya," kata Perry di kantornya, Kamis (15/11/2018).
Sementara itu, di Eropa, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat di tengah inflasi yang dalam tren meningkat.Â
BACA JUGA
"Normalisasi kebijakan moneter di Eropa yang saat ini dilakukan melalui pengurangan pembelian aset keuangan diperkirakan masih akan terus berlanjut," ujarnya.
Di negara emerging market, pertumbuhan ekonomi China juga terus melambat disebabkan berlanjutnya proses deleveraging di sistem keuangan dan pengaruh ketegangan hubungan dagang dengan AS.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melandai dan risiko memburuknya hubungan dagang antar negara akan berdampak pada tetap rendahnya volume perdagangan dunia.
"Sejalan dengan itu, harga komoditas dunia menurun, termasuk harga minyak dunia yang kembali menurun akibat prospek meningkatnya pasokan," tutupnya.
Advertisement