Liputan6.com, Jakarta - Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) memandang Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) harus benar-benar tepat dalam memilih menteri di masa pemerintahan lima tahun yang akan datang, khususnya menteri di bidang ekonomi.
Ketua KEIN, Soetrisno Bachir mengatakan, untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas ekonomi Indonesia saat ini, tidak cukup hanya dengan menunjuk sosok yang tidak memiliki terobosan-terobosan dalam hal ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berada di atas lima persen, Soetrisno menilai memang cukup bagus. Hanya saja angka ini masih jauh dari target Presiden Jokowi di masa awal kepemimpinannya yang mencapai 7 persen.
Advertisement
"Kalau pilih jadi menteri harus nyeleneh, yang bisa cari terobosan. Karena yang diperlukan bangsa ini suatu lompatan. Jujur memang di pemerintahan sekarang tim ekonominya masih gini-gini saja. Tidak out of the box," ucap Soertrisno di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (27/5/2019).
Baca Juga
Dia mencontohkan, untuk Menteri Perindustrian. Baginya Menteri Perindustrian ke depan harus bisa menciptakan mobil made in Indonesia. Selama ini Indonesia hanya menjadi pasar dari produk-produk otomotif dari Jepang.
Padahal dengan pengalaman, kemampuan SDM, Indonesia mampu menciptakan mobil karya anak bangsa. Tidak hanya itu, contoh lagi tentang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Soetrisno mengusulkan Menko Perekonomian baru nanti harus yang memiliki pengalaman politik.
"Menko ekonomi itu sekarang harus tahu politik. Karena dia akan koordinasikan menteri dari berbagai partai juga. Pak Darmin tidak tepat di situ. Era sekarang harus ngerti politik," tegasnya.
Dengan berada di periode ke dua kepemimpinan, KEIN memperkirakan Presiden Jokowi lebih leluasa dalam menjalankan kebijakannya tanpa terlalu banyak tekanan dari partai-partai pengusung dan pendukungnya.
"Karena ke depan tidak akan jabat lagi, jadi lebih leluasa siapa saja yang akan membantunya nanti," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
KEIN: Kabinet Pemerintah Baru Harus Berubah
Sebelumnya, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengubah komposisi dan jajaran kabinet yang akan memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Ketua KEIN, Soetrisno Bachir menilai, perubahan ini perlu dilakukan mengingat fokus kerja pemerintah dalam lima tahun ke depan berbeda dengan lima tahun sebelumnya. Jika sebelumnya fokus pembangunan infrastruktur kinerja pemerintah ke depan akan fokus ke pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan meningkatkan ekspor.
"Kabinet ke depan akan berbeda, karena sasaran dan tujuannya sudah berbeda. Makanya Pak Presiden itu sempat bilang kalau perlu akan dibuat Menteri khusus ekspor dan khusus investasi, ya karena memang itu yang kita perlukan saat ini," tegas dia di Hotel Pullman, Jakarta, Senin 27 Mei 2019.
Untuk soal infrastruktur, menurut dia, sudah saatnya swasta yang melanjutkan pembangunan. Pemerintah dan BUMN sudah cukup banyak dalam membangun infrastruktur dasar demi memberikan stimulus untuk swasta.
Alasan Soetrisno, Indonesia saat ini butuh membangun kekuatan ekonomi dalam negeri. Terlebih saat ini Indonesia tengah dihadapkan pada gejolak ekonomi dunia, seperti maraknya perang dagang antar negara.
Dia mencontohkan, seperti tugas Menteri Perhubungan (Menhub) ke depannya tidak hanya membangun berbagai fasilitas infrastruktur di berbagai wilayah. Hanya saja Menhub ke depan perlu meningakkan daya saing infrastuktur transportasi yang memudahkan ekspor.
"Jadi kalau ada China yang mau investasi di Indonesia, jangan lagi di Jawa, tapi di Kalimantan Utara, Sumatra, Sulawesi, itu tempat-tempat jadi pintu gerbang ekspor kita. Jadi butuh orang-orang yang berani seperti itu," tegas dia.
Advertisement
Kendalikan Defisit Perdagangan
Sebelumnya, Wakil Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta menyoroti, defisit neraca perdagangan Indonesia yang terjadi pada April 2019.
Dia menuturkan, defisit sebesar USD 2,50 miliar tersebut harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, lantaran menjadi terbesar dibandingkan tahun-tahun lalu.
"Apa yang sebabkan defisit di April capai USD 2,50 miliar ini merupakan defisit terdalam dalam jangka waktu 6 tahun terakhir," kata Arif dalam acara press briefing, di Jakarta, Jumat, 17 Mei 2019.
Arif mengatakan, dengan memburuknya posisi neraca perdagangan Indonesia otomatis akan berimbas pada terkoreksinya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai sebesar 5,3 persen.
"Di tahun 2019 kita akan tumbuh 5,3 persen dari asumsi makro APBN 2019. Maka target nilai ekspor kita harus minimal capai Rp 3.408 triliun," kata dia.
Oleh karena itu, kata dia, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi RI harus ada tindak lanjut dalam upaya pengendalian terhadap defisit neraca perdagangan. Paling tidak pemerintah dapat melakukan refleksi dari arah kebijakan moneter, fiskal hingga kepada sektor riil.
Dia menambahkan, dalam upaya pengendalian defisit neraca perdagangan dapat dilakukan juga dengan mendorong ekspor dan menahan laju impor.
Untuk mendorong ekspor, kata dia, bisa dilakukan dengan meningkatkan volume perdagangan atau mengubah harga relatif komoditas ekspor.
Arif menyebut, salah satu yang bisa dilakukan untuk mendorong volume perdagangan dapat dilakukan dengan mendiversifikasi ekspor selain komoditas utama. Sebab selama ini, Indonesia masih bergantung dan mengandalkan CPO beserta produk turunannya untuk ekspor.
"Kalau kita bergantung kepada CPO saja maka harga komoditinya akan turun. Secara agregat harga komoditas migas itu April 2018 ke April 2019 turun 21 persen secara agregrat, secara keseluruhan. Volume meningkat, tapi harga turun," kata dia.