Liputan6.com, Jakarta Tren penggunaan pupuk organik di dunia pertanian terus meningkat menyusul gaya hidup masyarakat yang ingin menggunakan produk pangan sehat. Tren tersebut kemudian mendorong munculnya produsen pupuk organik, termasuk petani yang membuat sendiri dengan berbagai bahan.
Namun di lapangan, banyak pupuk organik yang tak sesuai standar. Padahal, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi agar pupuk organik bisa terjaga mutunya.
Baca Juga
Direktur Pupuk dan Pestisida Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Muhrizal Sarwani mengatakan, terdapat beberapa kendala dalam pengembangan pupuk organik, baik ditingkat produsen maupun pengguna.
Advertisement
Misalnya, mutunya yang masih kurang baik, bahan bakunya juga terbatas, kualitas yang dihasilkan tidak konsisten, banyak mengandung logam berat (terutama yang dari kota).
Bahkan dosis penggunannya yang relatif tinggi, sehingga sulit dalam transportasinya. Muhrizal mengakui, mengolah atau membuat pupuk organik memang tidak boleh sembarangan. Jika tidak benar, maka pupuk tersebut bukannya baik mengandung zat organik, tetapi justru malah merusak tanah juga.
“Karenanya harus ada persyaratan mutu yang perlu diketahui produsen pupuk organik,” ujarnya.
Untuk melindungi konsumen terhadap kualitas pupuk organik, pemerintah merevisi Permentan No. 70 Tahun 2011 dengan dikeluarkannya Permentan No. 01 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Dengan beleid teranyar tersebut, diharapkan akan menjamin kualitas pupuk organik, hayati dan pembenah tanah yang beredar di masyarakat. Muhrizal mengatakan, tujuan diaturnya standar pupuk organik, hayati dan pembenah tanah tersebut untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup. Diharapkan juga akan meningkatkan efektivitas penggunaan pupuk organik dan memberikan kepastian usaha dan kepastian formula pupuk yang beredar.
“Dengan demikian, pupuk (organik, hayati dan pembenah tanah) yang ada dipasaran terjamin mutu dan kualitasnya yang hasil akhirnya adalah meningkatkan produktivitas,” katanya.
Syarat mutu dan teknis pupuk organik tersebut harus sesuai ketetapan Permentan No. 70 Tahun 2011 yang direvisi menjadi Permentan No. 01 Tahun 2019. Menurut Muhrizal, Permentan tersebut merupakan koridor bagi produsen pupuk organik tentang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Dalam Permentan tersebut disebutkan bahwa pupuk organik bisa diolah dari kompos dari berbagai jenis bahan dasar seperti jerami, sisa tanaman, kotoran hewan, blotong, tandan kosong, media jamur, sampah organik, sisa limbah industri berbahan baku organik.
Tak hanya itu, bisa juga menggunakan tepung tulang maupun rumput laut . Namun kata Muhlizar, pupuk organik tersebut harus lulus uji mutu yang dilakukan pada Lembaga yang terakreditasi atau ditunjuk dalam Permentan. Salah satunya Balai Penelitian Tanah (Balittanah) di Bogor.
Pengujian mutu tersebut meliputi kandungan Karbon Organik, C/N Rasio, bahan ikutan lainnya, kadar air, logam berat, hara makro, hara mikro hingga kandungan mikroba organik dan mikroba kontaminan seperti E.coli dan Salmonella.
"Kalau mitra atau produsen itu sembarangan mencampur bahan baku, ini pasti tidak bisa kita gunakan. Kami sebagai pemerintah mengharuskan kualitas pupuk organik bagus," tegasnya. Dari hasil pengujian akan pupuk organik tersebut, Lembaga Uji Efektifitas lalu menyusun rekomendasi hasil uji efektivitas.
Dengan adanya Permentan No. 01/2019, formula pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah yang akan diproduksi dan diedarkan untuk keperluan sektor pertanian harus memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, diberi label kemasan dan didaftar oleh Menteri.
Karenanya, Muhrizal mengingatkan, petani agar memperhatikan pupuk organik yang digunakan. Dari mulai label, nomor terdaftar serta kandungan dari pupuk organik tersebut. Hingga kini tercatat, sebanyak 354 nama produsen pupuk organik, hayati dan pembenah tanah yang terdaftar di Kementerian Pertanian dengan beragam produknya.